Jeno membuka mata kala sinar matahari menyorotnya.
Ada yang aneh menurutnya setelah dia bangun. Dia merasakan sekujur tubuhnya sakit seperti terjatuh dari atas langit. Matanya menyapu pandang ke sekitar, terlihat indah namun sangat asing baginya.
"Ini dimana?" Jeno terduduk dengan keadaan yang linglung.
Lalu tak lama kemudian dia mendengar seseorang yang berlari. Langkah kakinya semakin mendekat dan jelas Jeno sudah waspada walaupun kepalanya begitu sakit dia tetap memaksakan berdiri.
"Tunggu!" Jantung Jeno rasanya mau copot dengan teriakan yang tiba-tiba. Ternyata seorang pengawal kerajaan. Tunggu pengawal kerajaan?
"Aneh tapi gue harus lari." Rasanya begitu berat sekali kakinya seperti didalam mimpi, tapi baginya ini terlihat nyata untuk disebut mimpi.
"Pangeran Jeno, tunggu jangan kabur lagi."
Mendengar kata pangeran membuat kaki Jeno berhenti dengan sendirinya. Pangeran dari mananya didalam garis keturunan keluarga Jeno tidak ada yang memiliki darah biru. Pengawal yang mengejarnya mulai menahan tangan Jeno. Ada dua pengawal disana.
"Kami mendapat perintah dari Yang mulia ayahanda pangeran untuk terus mengawasi pangeran." Jeno digiring oleh dua pengawal tadi yang memakai baju besi yang kuat dan juga tombak yang tajam.
Sebenarnya Jeno masih tidak paham dengan situasi ini. Kenapa tiba-tiba dia disebut pangeran lalu bagaimana bisa dia berada ditempat ini. Memang tempatnya sangat indah bagai di negeri dongeng bunga putih bermekaran dan juga langit yang biru. Ini bagai di lukisan.
"Sebenarnya kalian tuh ngapain sih disuruh ngawasin gu... Maksudnya saya." Kedua pengawal tadi saling lirik satu sama lain.
"Duke Alpha menyuruh kami untuk menjaga pangeran agar tidak kabur." Jeno berpikir keras. Duke Alpha, siapa itu?
"Memangnya saya sering kabur ya?"
"Anda tidak sadar? Pangeran ini sering menyusahkan kami." Tak lama dia mendengar suara gebukan. "Maaf pangeran. Teman saya ini sedang mengalami banyak masalah. Jadi mulutnya tidak terkontrol."
"Iya wajar orang miskin." Sarkastik yang tajam. Jeno berusaha keras agar mulutnya tetap rapat saat pengawal tadi menunjukkan wajah pasrah.
Malam menyambut, Jeno berbaring diatas sofa yang langsung menghadap ke jendela besar yang dilapisi emas serta gorden merah.
"Sebenarnya ini tuh dimana?" Rasa penasaran Jeno tak kunjung hilang meski dia sudah mendapatkan makanan lezat hidup mewah dan juga pelayanan dari pelayan. "Kangen Mama Papa, sama semua. Bosen pengen main hp."
Memang seharian ini Jeno dibunuh dengan rasa bosan karena tak ada hiburan yang menarik didalamnya, sudah dikurung didalam kamar tak ada hiburan pula. Perlahan dia mulai sadar kalau dia kembali ke jaman kerajaan bernuansa barat.