17. Remuk

377 41 16
                                    

Percuma Prasetya berlari mengejarnya. Mobil Prily sudah menghilang keluar dari pintu pagar rumahnya yang masih terbuka. Prasetya baru sadar kalau dia lupa menutup pintu pagar itu kembali sehingga Prily bisa masuk. Dengan langkah gontai, Prasetya menutup pagar itu dan menguncinya agar tak ada yang bisa masuk seperti Prily tadi.

Tiba-tiba, Prasetya teringat akan Keizaa yang ditinggalkannya di kamarnya. Prasetya berlari masuk kembali ke rumah. Didapatinya Keizaa masih di tempat tidurnya sambil bergerak-gerak erotis. Keizaa yang masih di bawah pengaruh obat perangsang sedang meremas-remas buah dadanya sendiri. Melihat gerakan-gerakan erotis Keizaa, tak urung Prasetya terpengaruh juga.

"Ayo, Sayang. Kita tuntaskan hasrat kita," ujar Keizaa melantur. Tatapan matanya genit. Mengerling nakal dengan senyum menggoda. Dagunya terangkat. Bibirnya merekah sedikit terbuka, memamerkan sebagian gigi putih bak mutiara.

Darah Prasetya berdesir melihat tubuh telanjang Keizaa yang mengajaknya bercumbu. Sejenak kemudian, Prasetya sudah bisa menguasai dirinya sendiri. Dipeluknya tubuh Keizaa, lalu dipanggulnya ke kamar mandi. Prasetya berharap, Keizaa bisa lekas sadar diguyur air shower.

"Buka bajumu, Sayang!" desah Keizaa sambil berusaha meloloskan kaus Prasetya yang basah kuyup terkena air shower.

Prasetya membiarkan Keizaa melakukan aksinya. Dia bahkan membiarkan Keizaa juga membuka celana jin yang dipakainya. Dirinya ikut larut dalam godaan tubuh telanjang Keizaa yang begitu membangkitkan hasratnya.

Keizaa semakin tak terkendali. Sentuhan dan elusan dilakukannya pada tubuh Prasetya yang membuat Prasetya ikut kehilangan kendali hingga tak kuasa menolak saat Keizaa menyatukan tubuh mereka. Mereka bercinta di bawah kucuran air shower.

* * * * *

Setelah cukup lama diguyur air, Keizaa mulai mendapatkan kesadarannya. Dia hampir mendapatkan kesadarannya secara penuh ketika Prasetya mencapai klimaksnya. Keizaa bingung, menyadari apa yang terjadi. Didorongnya tubuh Prasetya hingga terlepas dari tubuhnya.

Sambil menangis, Keizaa membasuh tubuhnya. Dia tak mengerti mengapa dia bisa bercinta di kamar mandi bersama Prasetya. Yang dia tahu, dia telah kehilangan keperawanannya.

Disentuhnya liontin emas berbentuk simbol dua keluarga besar mereka yang terkalung di lehernya. Seketika, perih terasa berlipat ganda. Dirinya kini tak suci lagi.

"Aku memang mencintaimu, Pras, tetapi kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" Keizaa mulai meluapkan kemarahannya setelah dia selesai memakai pakaiannya di kamar Prasetya.

"Kamu gak sadar makanya gak ngerti apa yang terjadi." Prasetya berusaha menenangkan Keizaa dan menceritakan apa yang sudah terjadi.

Keizaa hanya bisa terdiam sambil duduk di tepi tempat tidur. Air mata kembali meleleh di pipinya. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Dia tak bisa berpikir apa yang akan terjadi kelak. 

Apa yang Prasetya jelaskan seakan tak masuk ke telinganya. Dia tak lagi mau mendengar penjelasan apa pun. Baginya, semua itu alasan sebagai pembenaran atas apa yang Prasetya lakukan padanya. 

Rasanya sungguh menyakitkan ketika orang yang dicintai tega menodainya. Tanpa ingat apa yang telah terjadi seutuhnya, Keizaa hanya bisa menyimpulkan bahwa semua itu sudah diatur Prasetya untuk menodai dirinya. Nyatanya, kejadian itu terjadi di rumah Prasetya. Memang, dia ingat pergi bersama Arman ke vila, tetapi Keizaa tidak ingat Arman berbuat yang tak senonoh padanya.

"Kei ... aku bisa membuktikan ....."

"Sudah ... berhentilah mencari pembenaran!" tegas Keizaa. "Kamu sudah jelas-jelas menyetubuhiku. Bukti apa?"

Prasetya terdiam. Tertunduk dan tak lagi berusaha menjelaskan apa pun. Baginya, percuma menjelaskan tanpa bukti yang menguatkan.

"Antarkan aku pulang!" pinta Keizaa lirih. Dia sempat melihat jam di smartwatch yang masih melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Prasetya menuruti permintaan Keizaa. Dengan mobilnya, Prasetya mengantarkan Keizaa pulang. 

"Lebih baik kita gak usah bahas kejadian ini sama keluarga. Cukup kita berdua yang tahu," pinta Keizaa sebelum turun dari mobil Prasetya. 

* * * * *

Prasetya melihat Keizaa menatapnya sejenak sebelum meninggalkannya masuk ke rumahnya. Sorot mata itu tampak terluka. Bukan hanya Keizaa, Prasetya juga terluka. Dia menyesali kesalahannya ikut larut dalam ketidaksadaran erotis yang dialami Keizaa.

Kadang, sebuah kesalahan harus dibayar dengan mahal. Prasetya terbayang harga yang harus dia bayar. Ketika salah melangkah, tidak ada lagi jalan pulang. Yang bisa dilakukan hanyalah mencari jalan lain agar tak tersesat sampai tujuan. Jalan memutar dan berliku yang menguras tenaga dan rasa.

"Mulai sekarang kita putus! Aku nggak sudi pacaran dengan laki-laki bejat macam kamu!" 

Kata-kata Prily tadi menggema di kepalanya. Kalau kejadian itu memang seperti yang Prily pikirkan, Prasetya akan menerima keputusan itu. Namun, dia tak bisa menerima keputusan yang hanya didasari prasangka tanpa klarifikasi.

Prasangka? Memang, prasangka Prily salah. Prasetya tidak berniat memperkosa Keizaa. Semua yang dilihat dan disangka Prily tidak benar. Namun, tetap saja apa yang terjadi secara fisik hampir tak ada bedanya. Tak ada niat memperkosa, tetapi dia membiarkan dan ikut berperan dalam persetubuhan dengan Keizaa. 

Mestinya, persetubuhan itu tak perlu terjadi. Prasetya mengutuk dirinya yang ikut larut dan tak mencegah Keizaa melakukannya. Keizaa jelas tak sadarkan diri. Lalu, kenapa dirinya malah kehilangan kendali diri?

Anggapan Prily mungkin ada benarnya. Bejat. Kata itu terlalu kejam untuk didengarnya. Bahkan, untuk sekedar terlintas di pikirannya. Prasetya merasa dirinya tak ada bedanya dengan anggapan Prily itu.

Sejak kecil, para orang tua menanamkan prinsip kekeluargaan dalam dua keluarga mereka. Saling menjaga dan melindungi. Siapa yang dia jaga? Siapa yang dia lindungi? Melindungi Keizaa dari ulah bejat Arman, lalu menikmati sendiri tubuh Keizaa? 

Apa artinya kenikmatan sejenak yang dia rasakan jika perihnya bakal terasa selama sisa hidupnya?

Kini, jalan ke hadapan tidak lagi terlihat jelas. Kabut tebal telah turun dan menghalangi pandangannya. Tak tahu bagaimana menghadapi masa depan. 

Perih. Rasa bersalah menyayat hatinya. Mencincang segala kebanggaan yang selama ini tersemat di pundaknya. Memporak-porandakan citra yang selama ini dijaganya.

Semua yang selama ini dimilikinya seakan lenyap seketika. Yang tersisa hanya kehampaan. Gelap dan hening. 

Sesampainya di rumah, Prasetya langsung masuk ke kamar. Dia membanting tubuhnya ke kasur. Pikirannya kacau. Kepalanya terasa sakit. Dia lalu bangkit dan mencari obat sakit kepala di ruang makan. Biasanya, minum obat sakit kepala bisa membantunya tidur.

"Mas Pras sakit?" Dini bertanya padanya saat Prasetya memegang obat sakit kepala.

Prasetya seolah kehilangan kata-kata. Dia hanya menatap Dini yang menunggu jawaban.

"Mas ...," panggil Dini sambil memegang tangan Prasetya, "Mas Pras sakit kepala? Mau aku pijetin biar enakan?"

Prasetya masih bengong sambil menatap Dini. Dikembalikannya obat yang sempat dipegangnya ke kotak obat.

"Ya sudah, kita ke kamarmu, Mas," ajak Dini sambil menggandeng tangan Prasetya.

Tanpa menjawab, Prasetya mengikuti Dini. Dia juga tak membantah ketika Dini memintanya menelungkup di kasur. Dini langsung duduk di tepi tempat tidur dan mulai memijatnya.

"Tadi pagi, Mas perginya buru-buru. Sampai gak sarapan. Tuh ... kopinya aja gak diminum," celoteh Dini sambil memijat pundak Prasetya.

Prasetya masih sadar ketika tangan Dini memijat tengkuknya. Terasa nyaman. Lalu, berpindah ke kepalanya. Setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi.

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Baca juga "Godaan Hati", ya!


Publikasi: 24 November 2021

Cinta TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang