Keizaa melirik peta digital di dashboard mobilnya. Dia sudah berada ke arah yang benar menuju lokasi yang ditujunya, Kafe Armano. Sang pemilik yang mengundangnya untuk bertemu tak lain adalah Arman, lelaki yang baru dikenalnya saat melihat mobil barunya di diler mobil milik ayahnya.
Arman terkesan simpatik dan lelaki yang baik bagi Keizaa. Cara bicaranya yang ramah dan sopan membuat Keizaa terkesan. Itu juga yang membuat Keizaa mau menerima undangan Arman ke kafenya.
Keizaa merasa harus membuka diri terhadap lelaki lain setelah sikap dan keputusan Prasetya menolak perjodohan mereka. Bukan hal yang mudah baginya karena selama ini Keizaa merasa Prasetya adalah segalanya. Keizaa sejak kecil dekat dan tergantung pada Prasetya. Tak bisa dipungkirinya kalau dirinya cinta kepada Prasetya. Mungkin dengan membuka diri, aku bisa mulai berdamai dengan keadaan, pikir Keizaa.
Mobil Keizaa melewati jalan masuk ke sebuah kawasan perumahan yang sepi. Kawasan itu tampak asri dengan pepohonan rindang yang menaungi jalan. Sebuah kawasan perumahan lama dengan arsitektur 80-an khas kompleks perumahan pegawai. Jarak antarrumah cukup lengang dengan halaman yang cukup luas. Hampir semua halaman rumah ditanami rumput dengan beberapa jenis tanaman hias yang tidak dominan yang membuat halaman itu terlihat luas.
Keizaa sudah sampai di lokasi yang dituju. Berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya, di jalan depan rumah itu terparkir beberapa mobil. Keizaa memarkirkan mobilnya di celah yang tersedia. Sambil melangkah menuju pintu masuk, Keizaa dapat melihat papan nama berhias tabung neon di sekelilingnya dengan tulisan KAFE ARMANO. Tak salah lagi, ini tempatnya.
Pintu masuk itu dibuat dari rangka besi yang membentuk gerbang yang melengkung di bagian atasnya. Gerbang itu ditanami tanaman yang merambat menutupi hampir semua permukaan rangka gerbang. Di bagian atas yang melengkung, terjulur beberapa buah lampu kecil warna-warni. Keizaa bisa melihat lampu neon fleksibel yang menghiasi sepanjang rangka gerbang itu meski belum dinyalakan di sore hari.
"Keizaa ...." Seorang lelaki muda menyambutnya dengan ramah sambil mengulurkan tangannya.
Keizaa tersenyum dan menyambut uluran tangan itu untuk menyalaminya.
"Nggak sulit kan cari alamatnya?" tanya Arman.
"Sama sekali nggak."
"Mari," ujar Arman mengajak Keizaa membelah halaman rumput di kanan mereka. Di halaman rumput yang cukup luas itu terpasang beberapa payung dengan enam kursi kayu dan meja bundar yang berporos pada tiang payung.
Arman mengajak Keizaa ke sudut depan halaman rumput itu. Yang ditujunya bukan tempat duduk yang dinaungi payung seperti yang lainnya melainkan sebuah gazebo. Bagunan kayu persegi itu menampung empat kursi mengelilingi sebuah meja persegi.
"Silakan duduk," ujar Arman setelah menarik kursi sedikit ke belakang untuk diduduki Keizaa.
"Makasih," jawab Keizaa sambil duduk.
Keizaa merasa masih agak canggung duduk berdua dengan Arman. Dia belum pernah dekat dengan seorang lelaki selain Prasetya sebelumnya. Tapi, selalu ada yang pertama.
"Sudah lama jalani bisnis kafe?" Keizaa memulai percakapan dengan agak canggung.
"Hampir setahun. Waktu lulus kuliah, nggak tau mau kerja apa. Yang kepikir adalah bisnis bukan kerja sama orang. Kebetulan ada teman yang ngajak bisnis. Dia yang punya rumah ini, rumah warisan orang tuanya. Karena lokasinya cocok dan halamannya cukup luas, kami bikin konsep kafe taman seperti ini."
"Bagus dong. Keliatannya kafe ini cukup rame," ujar Keizaa sambil melihat beberapa tempat yang terisi anak-anak muda.
"Lumayan. Hampir setiap hari selalu dipenuhi pengunjung."
Seorang pelayan perempuan datang dengan seragam kemeja lengan pendek berwarna hijau muda dan celana panjang hitam ketat. Pelayan itu mengenakan apron bermotif kotak-kotak hijau dan hitam dengan logo Kafe Armano di dada kirinya. Pelayan itu mengangguk sopan dengan senyum yang ramah.
Setelah memesan minuman segar dan makanan ringan, Keizaa dan Arman mengobrol tentang diri masing-masing, mulai dari keluarga sampai aktivitas sehari-hari. Obrolan klise dua orang yang baru berkenalan. Namun, Keizaa merasa hal itu cukup menyenangkan. Ternyata bukan cuma Prasetya yang menarik dan menyenangkan. Dalam waktu kurang dari satu jam, mereka berdua sudah mulai akrab.
Arman adalah anak seorang pengusaha di bidang jasa infrastruktur telekomunikasi. Meski begitu, dia memiliki sikap yang mandiri. Sejak lulus kuliah, dia berusaha memulai usahanya sendiri tanpa bantuan modal orang tuanya kecuali mengandalkan tabungan yang ada di rekeningnya. Secara fakta, uang itu memang uang saku dari orang tuanya yang dihemat dan ditabungnya untuk tujuannya memulai usaha sendiri.
Setelah lulus kuliah dari Jurusan Manajemen, Arman tidak berniat bekerja di perusahaan milik ayahnya meskipun ayahnya sangat menghendaki itu. Dengan modal yang sangat terbatas, tawaran kerja sama dari Aldi, temannya, cukup menarik baginya. Mereka berdua bersepakat untuk memulai bisnis kafe. Aldi menyiapkan tempat dan sedikit modal berupa uang dan menyerahkan seluruh pengelolaan kafe pada Arman dengan menerima bagi hasil.
"Kamu hebat, bisa memulai usahamu sendiri secara mandiri," ujar Keizaa kagum.
"Nggaklah ... biasa aja. Siapa pun yang mau berusaha pasti ada jalannya," ujar Arman terdengar bijak.
Lebih dari tiga jam mereka berdua mengobrol akrab saling menjajaki satu sama lain. Sesekali mereka tertawa bersama sambil bercanda.
"Aku pulang dulu, ya," ujar Keizaa. "Aku tadi janji sama Mama pulang cepet."
"Oke ... makasih, ya, sudah mau mampir kemari."
* * * * *
Arman kembali ke gazebo setelah mengantarkan Keizaa ke mobilnya. Dia duduk seorang diri dan sedang menunggu seseorang di sana sambil mengisap rokoknya. Mungkin sebentar lagi, pikir Arman setelah melihat layar ponselnya yang menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit. Diisapnya lagi rokoknya lalu diembuskannya.
Dari tempat duduknya, Arman melihat sesosok perempuan yang berjalan dari gerbang masuk menuju ke tempatnya berada. Tak salah lagi, itu Sesha. Arman meneguk jus jeruknya.
"Duduk!" perintah Arman ketika Sesha sudah berada di depannya. "Gimana bisnis? Lancar?"
"Dua order sudah ada yang ngelayani, tapi yang dua lagi belum, Man." Sesha menjelaskan dengan nada datar. "Donita sama Leni sedang nggak bisa layani order."
"Kamu ini gimana sih? Ngatur gitu aja nggak becus?" Suara Arman terdengar meninggi.
"Mau gimana lagi kalo mereka berdua nggak bisa layani order? Mereka lagi dapet."
Arman mendengus kesal. "Pokoknya kamu cari yang lain. Kalau nggak ada yang lain, kamu sendiri yang layani. Aku nggak mau pelanggan kita kecewa!"
Wajah Sesha tampak pias di bawah cahaya lampu yang terang. Dari rautnya, Sesha menampakkan keengganan untuk melakukan apa yang Arman inginkan.
"Entar aku cari lagi deh kalo ada yang mau."
"Kalo bisa cari yang mahasiswi aja," tegas Arman sambil menatap Sesha yang mengangguk patuh.
"Kamu tahulah kalo cari yang beginian yang kondisinya bagus itu nggak mudah. Apalagi kalo dadakan. Kalo yang kelas pinggir jalan sih aku bisa dapet cepet."
"Makanya ... kamu mesti lebih gesit dong pendekatan sama target. Temenmu kan banyak?"
"Iya, tapi kan nggak semua temenku juga mau kerja gituan."
"Ya sudah. Kamu usahakan dulu cari."
Sesha beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan gazebo.
"Hey ... kalo malem ini kamu nganggur, kamu temenin aku, ya!" perintah Arman saat Sesha yang hanya menoleh sebentar dan mengangguk padanya.
Publikasi: 22 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terbiasa
RomansaKedekatan Bayu Dirgantara dan Danu Sudira sebagai sahabat baik yang sudah saling menganggap keluarga membuat anak-anak mereka juga sudah seperti bersaudara. Keduanya ingin mengikat kekeluargaan mereka dengan menikahkan anak-anak mereka. Namun, keing...