1. Dua Keluarga

1K 74 130
                                    

Sebuah Toyota Alphard hitam berhenti di depan kediaman keluarga Danu Sudira. Empat orang turun dari mobil itu dan menapaki beberapa anak tangga menuju teras rumah dengan pintu depan terbuka. Pintu berdaun ganda dari kayu itu kelihatan kokoh menjulang dan berat, sesuai dengan bentuk rumah putih besar yang berplafon tinggi itu. 

Seorang lelaki paruh baya berjalan berdampingan dengan sang istri diikuti sepasang putra-putri mereka. Dengan balutan kemeja kasual dan celana panjang katun tak membuat kesan tegas berwibawa dari lelaki itu berkurang. Senyum manisnya terkembang ramah dengan sedikit anggukan saat seorang pelayan muda menyambut mereka di pintu lalu mempersilakan masuk. Sang istri yang tampak anggun dengan balutan busana kasual juga melakukan hal yang sama.

Pelayan itu mengantarkan mereka masuk langsung ke ruang tengah.  Berbeda dengan ruang tamu yang bernuansa klasik, ruang tengah yang berukuran besar itu bernuansa modern dengan dua stel sofa yang terletak megah di tengah ruangan. Keluarga itu tak merasa asing dengan suasana rumah itu.

Saat mereka mengarah ke sofa, seorang lelaki paruh baya yang baru turun dari lantai atas langsung menyongsong mereka. Kedua lelaki sebaya yang sama-sama tampak gagah itu saling berpelukan akrab.

"Apa kabar, Bayu?" Danu, sang tuan rumah, menyapa dengan wajah berseri-seri.

"Baik. Kamu sendiri sehat, kan?"

"Alhamdulillah, sehat." Danu menoleh ke perempuan cantik di sisi Bayu Dirgantara, "Gimana kabarmu, Alysa?" Danu menyalaminya sambil menyodorkan pipinya.

"Alhamdulillah, baik. Siska mana?" Alysa balik bertanya.

"Masih di atas. Sebentar lagi juga turun. Ayo, silakan duduk!"

"Pras ... Lily ... salam Papa Danu!"

Prasetya yang semula hanya berdiri diam sambil tersenyum lalu mendekati Danu diikuti Lily, adiknya.

"Kamu semakin gagah saja, Pras," ujar Danu ketika Prasetya mencium punggung tangannya. "Lily ... kamu sudah mulai dewasa sekarang. Sudah kuliah, kan?"

"Iya, Pa." 

Lily dan Pras sejak kecil biasa menyebut Danu dengan panggilan Papa Danu dan memanggil Siska dengan sebutan Mama Siska.

"Tak terasa sudah enam bulan, ya, kita tak bertemu?" Danu memulai percakapan dengan duduk santai di sofa.

"Iya, kita sama-sama sibuk. Paling-paling anak-anak yang sering bersama," jawab Bayu.

Biasanya, mereka mengadakan acara keluarga seperti itu setiap tiga bulan sekali. Namun, tiga bulan lalu kebetulan Bayu dan Danu sama-sama sibuk dengan urusan bisnis mereka di luar kota. Akhirnya mereka putuskan untuk mengadakannya di jadwal selanjutnya. Acara keluarga itu sudah jadi tradisi kedua keluarga sejak Bayu dan Danu baru berkeluarga.

Bayu Dirgantara dan Danu Sudira sudah bersahabat sejak kecil. Mereka berdua saling mengenal karena merupakan teman sekelas saat kelas satu SMP. Keduanya merantau ke kota ini dari desa masing-masing. Bayu tinggal di rumah pamannya sedangkan Danu tinggal di rumah salah satu kerabat jauh bapaknya. Nasib yang serupa membuat mereka akrab dan sama-sama bertekad menjadi orang yang berhasil.

Keduanya selalu bersaing dalam mencapai prestasi. Meskipun demikian, keduanya selalu saling membantu agar mereka sama-sama bisa mencapai tujuan mereka. Sambil sekolah, mereka berdua sudah terbiasa mencari uang. Kadang mereka ngamen berdua, jualan koran, bahkan mereka pernah bekerja di tempat pencucian mobil. Apa pun yang bisa menghasilkan uang yang halal, mereka sanggup lakukan.

Setamat SMA, mereka berdua sengaja menunda masuk kuliah untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu. Hasil tabungan keduanya digabungkan lalu mereka membuka kios kecil untuk berjualan koran dan majalah. Usaha kecil itu mereka jalani sampai mereka tamat kuliah.

Bayu dan Danu bukan hanya merasa sebagai sahabat dekat melainkan sudah seperti saudara kandung. Mereka sudah kenyang menangis dan tertawa bersama bertahun-tahun. Kebersamaan itu membuat mereka  berdua saling berjanji untuk selalu bersama sebagai saudara.

Danu tersenyum memandang Prasetya, "Kamu mirip sekali dengan ayahmu waktu seusiamu, Pras. Sama ganteng dan gagahnya." Pikiran Danu kembali ke masa lalu saat dia dan Bayu masih kuliah. "Ayahmu ini bukan cuma ganteng, tapi juga tangguh. Kalau tidak ada ayahmu, mungkin papa tak seperti sekarang ini."

Bayu terkekeh, "Kamu itu ada-ada saja, Dan. Kamu bisa seperti sekarang karena kamu ulet dan pantang menyerah. Kamu ingat dulu waktu kios koran kita hampir bangkrut karena aku sibuk kuliah sambil kerja dan kamu mulai sibuk kuliah? Kamu bisa bikin kios itu kembali untung dalam waktu kurang dari enam bulan."

Danu yang semula cuma tersenyum mendengarkan Bayu menyelesaikan kalimatnya kini gantian terkekeh. "Aku ingat. Waktu itu aku sampai nangis karena malu padamu tak becus ngurus kios kita. Kamu sampai terpaksa menjual sepeda motor bututmu biar kios kita punya modal lagi. Sejak itu aku bertekad tak akan nangis lagi di depanmu dan harus berhasil."

Sambil mengangguk, Bayu menanggapi, "Ya ... kamu gila-gilaan ngurusin kios kita dari pagi sampai sore dan jarang masuk kuliah selama satu semester. Kalau aku tak menegurmu waktu itu, mungkin kamu bisa putus kuliah."

"Wah, asyik sekali bernostalgia." Mereka semua hampir tak sadar akan kemunculan Siska yang menyela pembicaraan.

Alysa bangkit dari duduknya lalu memeluk tubuh Siska. "Sehat, kan, Sis?"

"Terlalu sehat, malah. Ini tubuhku sampai kelebihan berat badan." Siska tergelak menjawab Alysa.

"Nggak apa-apa ... tambah montok, kan?" ujar Alysa memelankan suaranya mendekatkan wajahnya dan disambut tawa Siska. "Eh, Keizaa mana?"

"Bentar lagi pasti muncul. Dia tadi cari kue."

Siska lalu menyalami Bayu, Pras, dan Lily. Setelah itu dia ikut duduk bergabung mendengarkan cerita dua sahabat yang sedang membongkar masa lalu mereka. Siska tertarik mendengarkan cerita Bayu dan Danu tentang masa lalu mereka. Cerita itu bahkan belum pernah didengarnya dari suaminya.

Dua orang pelayan berumur tiga puluhan datang menyajikan makanan kecil dan minuman diikuti oleh Keizaa di belakang mereka. Keizaa lalu menyalami keluarga Bayu Dirgantara satu persatu dan duduk di samping Lily.

"Keliatannya enak tuh kue-kue buatan Keizaa," canda Alysa.

"Iya, Bunda. Tadi Kei numpang bikin di tukang kue," sambut Keizaa sambil tertawa kecil. "Silakan, Bunda ... Ayah ... kuenya dicicipin."

"Aku gak kamu tawarin?" ujar Prasetya. 

"Nggak ... aku suapin aja, ya ...." Keizaa kembali tertawa kecil. Tak sekedar bicara, Keizaa lalu mengambil pai buah dan menyodorkannya ke mulut Pras.

"Idih ... mesra banget. Kayak pasangan kekasih aja," protes Lily.

"Cocok ya?" goda Keizaa sambil tertawa.

 "Nggak malu tuh, diliatin orang tua." Lily pura-pura cemberut pada Keizaa.

"Nih ... aku suapin juga biar kamu gak cemberut," ujar Keizaa sambil menyodorkan sisa pai buah yang sudah digigit Prasetya tadi pada Lily.

Para orang tua mereka tertawa melihat ulah anak-anak mereka. Pemandangan seperti itu sudah tak asing lagi bagi mereka. Sejak kecil anak-anak mereka semua sudah biasa bercanda seperti itu. 

Mereka bertiga seperti tiga saudara kandung, Pras yang paling tua, Keizaa dan Lily masing setahun dan tiga tahun lebih muda dari Pras. Selama ini, Prasetya sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang kakak yang baik yang melindungi kedua adik perempuannya. Prasetya sering menemani Keizaa dan Lily ke mana-mana.

"Ayo,  kita makan!" ajak Danu. "Setelah makan, nanti ada hal serius yang mau kita bicarakan."

Semuanya lalu berpindah ke ruang makan yang letaknya bersebelahan dengan ruang tengah. Ukuran ruang makan itu lebih kecil dari ruang keluarga. Hanya ada satu meja makan besar yang terletak di tengah ruangan dengan lampu kristal berukuran kecil menjuntai dua meter di atas meja itu. Ada delapan kursi bersandaran tinggi yang terbuat dari kayu jati berukiran dengan pelapis jok berpola bunga di tempat duduk dan sandarannya. Di atas meja yang tampak kokoh itu tersedia berbagai hidangan. Bayu dan Danu duduk di bagian ujung-ujung meja yang saling berlawanan arah. Sementara itu, Prasetya, Keizaa, Lily duduk berseberangan dengan para ibu mereka.


Publikasi: 30 Mei 2020


Cinta TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang