9. Memecah Kebekuan

439 57 6
                                    

Lily membuka pintu kamar Prasetya dan muncul di ambang pintu itu, "Boleh aku masuk, Mas?"

Prasetya yang sedang duduk di kursi malasnya mempersilakan, "Ayo, masuk!"

Kursi malas antik itu adalah salah satu tempat favorit Prasetya saat lagi ingin bersantai di kamarnya. Umur kursi itu sudah puluhan tahun yang dibelinya dari penjual barang antik di Solo sekalian dengan ranjang antik yang keduanya dibuat dari kayu jati dengan ukiran. Konon, pemilik sebelumnya adalah salah satu keluarga ningrat. Kedua barang itu diberi finishing ulang agar tampak kembali seperti baru. 

Lily duduk di kursi empuk tak jauh dari kakaknya duduk. Mereka kerap mengobrol bersama di saat-saat tertentu makanya Prasetya menyediakan dua buah kursi empuk dengan satu meja kayu. Di waktu luang, keduanya bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam bercerita atau membahas sesuatu.

Kamar berukuran delapan kali enam meter itu merupakan perpaduan antara gaya modern dan klasik. Selain berisi dua barang antik itu, perabot dan ornamen lainnya bergaya modern. Tempat tidur klasik itu terletak persis di tengah panjang kamar dan membaginya menjadi dua wilayah. Sisi yang dekat dengan pintu kamar adalah wilayah kerja yang diisi dengan meja kerja dan perlengkapannya sedangkan sisi bagian dalam adalah wilayah santai.  

Lemari pakaiannya dibuat khusus dari kayu maple yang dirancang sederhana dan polos. Di sampingnya terpasang hasil jepretan Prasetya berukuran dua kali dua meter yang tersusun atas pola rumah lebah segi enam yang merupakan foto-foto yang dipotong segi enam dan ditempel pada lembaran kayu lapis tebal.

"Hari ini Mas Pras nggak ke mana-mana?" Lily penasaran melihat kakaknya yang pukul sepuluh pagi masih bermalas-malasan, bukan kebiasaannya begitu.

"Lagi males, Dek," jawab Prasetya sambil duduk santai di kursi goyangnya yang mengayun pelan.

Lily tertawa geli melihat kakaknya begitu.

"Apa sih, ketawa-tawa?" tanya Prasetya dengan alis beradu menjadi satu.    

"Aku suka geli liat Mas Pras kalo lagi di kursi goyang itu. Mirip kakek-kakek," tawa Lily pecah.

Prasetya tersenyum, "Kamu itu ada-ada aja, Dek. Enak lagi, duduk sambil goyang begini. Bisa memancing inspirasi."

"Wow ... gitu deh kalo seniman ngomong."

Dalam seminggu, ada saja Lily mampir ke kamar Prasetya untuk menghabiskan waktu luang bersama kakaknya. Segala hal bisa diobrolkan dengan kakaknya itu.  Prasetya bisa diajaknya mengobrol tentang hal-hal sepele sampai yang serius.

Pandangan Lily lalu tertuju pada sebuah lukisan yang terpasang pada dinding di atas meja kerja Prasetya. "Itu lukisan baru. Siapa itu, Mas? Itu yang namanya Prily?"

Prasetya mengalihkan pandangannya ke arah lukisan itu, "Iya, itu Prily. Aku baru selesai ngelukis itu, belum sempat dikasih ke dia."

"Cantik, Mas. Kapan mau dikenalin sama kita?"

Prasetya tampak berpikir sejenak, "Belum  tahu, Dek. Lagi cari waktu yang cocok. Kamu tahu sendirilah, sejak kejadian di rumah Keizaa, aku ngerasa kurang enak bahas masalah itu."

"Kelihatannya Ayah dan Bunda nggak mempermasalahkan itu kok, Mas. Carilah waktu dan ajak Prily ke sini. Nggak enak juga kalo nggak dikenalkan sama keluarga." Lily memberi saran. "Masalah Keizaa, nanti aku cari cara. Gimana menurut Mas?"

"Cobalah ... mungkin kamu bisa mencairkan suasana." Prasetya menjawab dengan nada datar.

* * * * *

Lily melangkah membelah ruang tengah kediaman Danu Sudira menuju halaman kanan rumah. Seorang pelayan menemaninya di sisi kirinya. Dari pintu ganda yang terbuka di hadapannya, tampak taman kecil yang terhampar di tepi teras samping bertaburan aneka anggrek. 

Cinta TerbiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang