DUA PULUH TUJUH

19.2K 2.7K 492
                                    

Jangan lupa vote dan komen, ya.

••••

Hueekk

Hueekk

"Udah sayang."

"Eunghh Bun, hueek."

"Sudah mas, udah gak ada yang bisa di muntahin, sayang. Nanti perutnya sakit."

Hueekk

Yoza dengan setia memijat tengkuk Dipta, ada Difya yang berlari dengan segelas air mineral di tangannya.

"Mas, minum dulu," kata Difya membantu Dipta minum.

"Bun, mual banget."

"Iya, sabar ya, sayang. Bunda tau mas kuat," saut Yoza mengelap mulut Dipta. "Balik ke kasur, ya."

Dipta berbaring di kasur dan meringkuk meremas spreinya. "Sakit, bunda," ringis Dipta menangis. "Bunda, sakit hikss."

"Sabar, mas. Kuat," bisik Yoza menyeka keringat di dahi Dipta. "Bunda di sini, mas mau peluk? Bunda peluk, ya."

Dipta mengangguk, dia membiarkan tubuhnya di rengkuh Yoza. Tubuh kurus yang semakin kurus itu benar-benar terasa sangat ringkih. Yoza menepuk pelan lengan Dipta, dia mengelus rambut anaknya.

"Tidur, nak," bisik Yoza.

Difya membersihkan cairan yang di muntahkan Dipta yang ada di lantai, dia melirik sendu pada kakaknya.

"Eunghh, bunda."

"Apa, sayang?"

"Pusing."

Yoza memijat pelan kepala Dipta, dia masih setia di posisinya. Telinganya menangkap suara rintihan dan lenguhan dari bibir pucat Dipta.

"Ssshh.., bunda sakit."

"Yang mana, mas? Sini bunda tiup biar sakitnya pergi."

"Se-semuanya."

Yoza meniup pelan puncak kepala Dipta, mengelus lembut kulit kering anaknya sambil berdoa semoga sakit yang anaknya rasa segera sirna.

"Kuat ya, mas. Harus kuat untuk bunda," bisik Yoza. "Bunda sakit lihat mas begini."

"Hikss.., bunda tolong."

"Sakit, ayo pergi. Kasihan masnya Difya, jangan datang lagi," kata Difya mengelus kaki Dipta. "Jangan.., jangan muncul lagi, hikss."

Difya duduk di ujung ranjang, dia ikut menangis melihat kakaknya. Sedangkan Ayres tengah menemani Ditya di kamar, karena anaknya itu tengah terserang demam tinggi.

Tengah malam yang seharusnya di gunakan untuk beristirahat malah menjadi malam yang sibuk di rumah itu, Dipta tengah terserang efek dari kemoterapinya dan Ditya ikut demam.

"Ayah," cicit Ditya.

"Kenapa, hm?"

"Mas gimana?"

"Mas sama bunda, abang tidur aja."

Ayres membenarkan handuk kecil yang dia letakkan di kening Ditya sebagai kompresan. Dia tengah duduk di ujung ranjang untuk menemani anaknya, Ditya menggigil dengan suhu tubuh yang sangat tinggi.

"Kenapa kita harus begini, yah?" tanya Ditya menatap wajah lelah Ayres. "Allah kasih ujian berat banget ke kita, Allah marah ya, yah? Apa Allah lagi hukum kita?"

Ayres menggeleng. "Allah kasih ujian untuk menaikkan derajat para hambanya, Allah pasti tau batas kemampuan kita, gak akan dia uji kita melebihi kekuatan kita."

TRIPLETS D [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang