Langit sore gelap disertai hujan. Begitu tebalnya awan hitam melingkupi kawasan sekitar ibu kota. Di depan toko bunga, Cinta masih menunggu reda yang sedari tadi memang sudah mengguyur sejak siang. Resya sudah ada yang menjemput. Tidak perlu lama menunggu. Tidak pula ada yang menemaninya, yang masih terperangkap. Entah harus berapa lama. Cuaca memang belakangan ini sulit untuk diprediksi.
“Kau butuh payung di saat hujan seperti ini.”
Cinta tersenyum. Namun, air yang turun dari atap menyadari bahwa itu hanya bayangan semata.
“Basah!” gerutunya dalam hati.
Dari dalam tas tiba-tiba bergetar disertai suara nada dering. Sebuah pesan terbaca sebagian dari layar yang belum ia buka. Agaknya kekesalan yang ia rasakan perlahan sirna. Tidak disangka-sangka panggilan kerja untuknya bergabung di salah satu Bank membuatnya merasakan senang saat ini. Cinta diminta untuk mengisi tempat sebagai Teller dan mulai bisa bekerja esok. Matanya tak luput untuk terus memandang. Membaca pesannya berulang-ulang. Ini berita baik untuknya.
“Paman, besok aku sudah bekerja di tempat yang baru.”
Ia menghubungi Tuan Dika. Tentu kabar gembira yang dirasakan Cinta membuatnya juga turut bahagia dan mengucapkan selamat.
Sebagai sesama karyawan yang bekerja di toko bunga, Resya pun tak luput dihubunginya. Selain memberikan kabar yang memang ia nanti-nantikan, Cinta juga mengabarkan perihal tentang dirinya yang tidak akan bekerja lagi di toko tersebut. Awalnya berat. Resya merasa kehilangan. Namun, Cinta meyakinkan jika dirinya tidak melupakan Resya.
“Tidak ada yang menjemputmu?”
Fablo. Tiba-tiba saja lelaki itu muncul di hadapan Cinta. Ia turun dari sebuah sedan dan menghampiri Cinta di tengah derasnya hujan.
“Aku antar?” tawarnya.
Tak ada pilihan lain. Melihat hujan yang tak kunjung reda, Cinta mengangguk setuju.
“Dari mana kau tahu aku bekerja di sini?”
“Jakarta itu sempit, Cinta. Tak sulit untuk menemukan keberadaanmu.”
Sebenarnya Cimonglah sedari awal yang memberitahukan semua perihal tentang Cinta. Sampai keberadaan di mana tempatnya bekerja.
“Bagaimana kabar hubunganmu dengan Polisi itu? Mengapa ia tak menjemputmu?”
“Aku tak ingin mengungkitnya.”
Selama ini hanya Rasya yang mengetahui segala cerita tentang hubungannya yang rumit. Untuk seseorang yang baru saja dikenalnya, manalah mungkin Cinta ingin berbagi. Lagipula, ia tidak ingin mendapat belas kasihan. Tidak juga ingin dimanfaatkan. Baginya semua lelaki itu sama saja. Termasuk yang ada di hadapannya. Mungkin. Jika saja tidak hujan, mungkin saat ini Cinta juga tak ingin duduk di dalam mobil.
Gapura minimalis untuk ukuran kampung. Dibubuhi nama jalan pada atas plang. Cukup besar. Untuk orang yang mencari alamat di tempat ini tentunya tidak akan tersesat. Cinta memaksa Fablo untuk mampir sejenak. Meski awalnya menolak pada akhirnya Fablo mau dan menerima.
“Di rumahku tidak ada minuman istimewa selain teh hangat ini.” Cinta menyajikan untuk tamu yang sudah berkenan mengantarkannya pulang.
“Pergilah segera. Sebelum yang lain mengetahui keberadaanmu di tempat ini.” Cimong berusaha memperingatkan.
Sempat Fablo berpapasan dan dititipkan pesan itu sekadar pengingat untuk dirinya yang kini bukan lagi bagian dari Tuan Dika.
“Terima kasih untuk tehnya.” Fablo menghabiskannya. Tak bersisa.
Belum seberapa jauh. Sekitar lima puluh meter jarak rumah Cinta menuju depan gang yang tidak bisa dimasuki oleh mobil, benar saja dua sosok lelaki menghadang jalan dan memintanya untuk menemui seseorang yang sudah menunggu di seberang. Di sebuah cafe. Melihat ke arah sana, seseorang langsung melambaikan tangan pada Fablo. Tak asing. Ia mengenal sekali lelaki yang menunggunya.
“Tak perlu melawan. Tak ada gunanya.” Salah satu lelaki itu mengancam dengan mengeluarkan gagang pistol dari dalam jas berwarna hitam.
Fablo menuruti. Langkahnya menuju cafe diikuti oleh dua orang tadi.
“Apa kabar, Paman. Kau tampak lebih sehat,” sapa Fablo ramah dan mengambil bagian duduk di hadapan lelaki paruh baya itu.
“Seperti yang kau lihat.” Sambil mengaduk-ngaduk coffee latte.
“Ada apa Paman. Tidak perlu berbasa-basi.”
“Jauhi perempuan itu. Aku akan melepaskanmu.”
“Urusan kita tidak ada hubungannya dengan perempuan itu. Jangan kau libatkan dia, Paman.” Fablo berdiri dan menggebrakkan tangannya ke meja.
Sebatang rokok tersulut di bibir Tuan Dika. Mata tuanya sudah lelah memandang sisa-sisa hujan di luar sana. Ia menahan kedua orang tadi yang menggiring Fablo masuk ke dalam cafe ini dan memerintahkan keduanya untuk segera keluar.
“Duduklah. Jangan membuat keributan di dalam sini.”
Melihat sekeliling, sudah banyak mata rupanya yang tertuju di meja mereka berdua. Fablo kembali duduk agar tidak lebih menarik perhatian.
“Masih ingat sewaktu kecil dulu ada sekelompok orang membawamu pergi? Aku bisa saja tidak memedulikan itu. Tapi kau tentunya tahu apa yang kulakukan. Pastinya kau pun masih ingat kenapa pistolku tidak ditemui satu pun peluru di dalamnya. Anak muda, dalam setiap perjalanan aku mengerti bahwa segala sesuatu memiliki risiko. Yang harus kau pahami sekarang, perempuan yang kau temui tadi adalah putriku. Tidak banyak orang yang tahu, selain sahabatku dan hari ini kau tentunya. Putriku sendiri saja tidak mengetahui jika aku adalah ayah kandungnya.”
Sulit rasanya bagi Fablo untuk mempercayai akan apa yang ia dengar hari ini.
“Aku merawatmu sedari kecil. Aku menganggapmu seperti anakku sendiri. Meskipun kita sekarang berbeda pandangan dan kau berada di pihak musuhku sekarang. Selain dia adalah bagian keluargamu sendiri, dia adalah satu-satunya orang yang masih berkeliaran setelah membunuh istriku. Aku tidak memintamu untuk membunuh pamanmu sendiri. Aku tidak memintamu untuk kembali padaku. Urusanku dengannya belum selesai. Aku hanya meminta padamu, tolong jangan libatkan dia dalam kehidupanmu. Aku akan melakukan apapun demi dia jika kau memintanya.”
Tidak mungkin. Fablo masih tidak yakin yang diucapkan oleh lelaki paruh baya itu. Semudah itukah? Tujuan apa lagi yang ingin dibuat? Rupa-rupa kebingungan di dalam tanya tidak mungkin tersampaikan. Fablo dengan cepat memang harus berpikir. Toh, sebenarnya juga ia menyesali perbuatannya kemarin, meski kebencian itu sedikit masih tertanam.
“Sudahilah pertikaian dan dendam di antara kalian. Aku pun akan menjauhi putrimu.”
Tuan Dika tak menyangka pula untuk permintaan Fablo yang dibuatnya kali ini.
“Baiklah. Aku akan melupakan semuanya demi putriku.”
Langit sudah beranjak gelap. Dari balik kaca itu terlihat jelas jalan yang lengang, meski sisa hujan membuat sebagian kaca itu mengembun.
“Tika, aku harus mengakhiri semua. Semoga ini keputusan yang tepat demi keselamatan anak kita. Cinta,” bisik hati Tuan Dika saat meninggalkan halaman depan cafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik NoL
General FictionMereka hanya melihat itu dari sebuah satu sisi mata uang saja. Bukankah begitu? Tidak ada satu pun di dunia ini mampu merelakan hidupnya hanya untuk sebuah ilusi dan angan-angan semata. Benar saja jika banyak orang mengatakan bahwa hidup dimulai dar...