Bab I

6 0 0
                                    

Lelaki paruh baya tampak terus berlari dari pengejaran. Ia coba menghindar dari sebuah penyergapan, di mana memang transaksi yang dilakukannya sudah terintai dan teridentifikasi oleh pihak aparat. Sekitaran area pelabuhan itu telah terkepung. Beberapa kali juga terdengar peluru ditembakkan sebagai peringatan. Namun, tak digubrisnya. Di salah satu peti-peti kemas, ia mendapati ada sedikit celah pintu terbuka. Dirinya pun mencoba untuk bersembunyi dari kejaran aparat berseragam dan berbaju lepas dari kedinasan.

Masih ia dengar samar-samar dari dalam peti, suara anjing yang menyalak juga langkah-langkah kaki petugas yang sedang mencari keberadaan dirinya di antara ratusan peti-peti kemas.

“Sudah cukup. Segera bawa yang tertangkap untuk penyelidikan lebih lanjut.”

Pria berjaket hitam dipadu celana berbahan stretch denim biru dongker itu memerintahkan untuk segera menghentikan pencarian. Wajahnya melukiskan ketegasan meski pun sudah mulai tampak guratan yang termakan oleh waktu. Dia juga orang yang memimpin Operasi Elang ini dengan target para bandar narkoba yang kian meresahkan.

Hampir saja. Sedikit lagi. Bila saja tidak ada yang menghalau, mungkin pengendusan jejaknya sudah terlacak.

Sorot lampu mercusuar, bising suara Container Crane tidaklah terhenti meski sebagian karyawan di sana memerhatikan proses pengejaran dan penangkapan. Salah satu dari mereka--para gembong yang bertransaksi--juga ada yang dilumpuhkan, sehingga untuk mengangkutnya masuk ke mobil tahanan diperlukan dua anggota kepolisian untuk membopongnya.

Suara sirine mobil Polisi perlahan-lahan lenyap di keheningan malam.

Debur ombak terdengar riuh juga memadu angin menyapu peluh keringat. Dingin menyergap. Mengetahui lokasi sudah steril dari operasi, lelaki paruh baya itu keluar dari tempat persembunyian.

“Apa yang kau tunggu di sini?” tegur pria berjas putih itu sambil mengibas-ibaskan tubuhnya dari debu. “Ingin menangkapku? Silakan.”

Komisaris itu hanya tersenyum. “Jika aku ingin, kau tidak mungkin lolos dari kemarin.”

Tangannya merangkul gembong bandar narkoba. Tidak ada sekat yang membedakan jarak di antara mereka sebagai penjahat atau pun aparat.

“Aku tidak lama lagi di kepolisian. Mungkin tahun depan aku sudah pensiun. Apakah kau masih ingin seperti ini terus?”

“Hei, selalu saja kau ceramahi aku.”

“Cepatlah pergi dari sini.” Tangannya menepuk pundak.

“Kau akan menyesal jika terus melakukan  ini kepadaku!” Tangannya melambai, tandakan perpisahan.

“Aku menyesal jika sampai nanti aku pensiun tapi kau masih seperti ini. Di situ aku akan merasa gagal menjadi sahabatmu!”

Lelaki paruh baya itu berhenti. Ia mendengar jelas dan tertawa. Membalikkan badan lalu memicingkan sebelah mata. “Bagiku kau lebih dari seorang sahabat.”

Beberapa mobil terlihat jalan beriringan dan semakin merapat di sebuah jembatan yang tak jauh dari tempat kedua orang itu. Ia menaiki dan melambaikan tangannya kembali. Komisaris yang masih berdiri di tepi pantai itu hanya tersenyum, meski hatinya sedikit kecut.

Entah berapa lama lagi ia harus menghadapi situasi seperti ini. Bukan tidak mungkin segala pertentangan selalu beradu di dalam benaknya.

“Begitukah caramu, Ayah? Membiarkan seorang penjahat pergi begitu saja?”

Rupanya sedari tadi ada yang mengamati pembicaraan kedua lelaki itu.

“Aku tidak mencegahmu bukan, untuk tidak menangkapnya. Kenapa tidak kau lakukan anak muda.”

Titik NoLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang