Bab III

3 0 0
                                    

“Siapkan orang. Kita akan menuju ke bandara sekarang!”

Sepanjang sisa hidupnya, di hari inilah yang sudah lama di nanti-nantikan. Ia akan mengepung sekitar bandara. Dengan tangannya sendiri, ia berjanji akan menghabisi orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya dengan cara keji di hadapan kedua matanya.

“Aku akan membunuhmu, Dika. Aku berjanji. Satu jari tangan adikku akan kau bayar dengan sepuluh jari tanganmu. Camkan itu!”

“Aku selalu menunggu itu. Kupastikan padamu, tak akan kubiarkan kau lolos. Bahkan, akan kupersiapkan makam untukmu sekembalinya nanti.”

Tak berselang lama, pembicaraan via telepon itu pun dimatikan.

“Lemparkan dia dari lantai dua ini!” perintahnya seraya memasukkan kembali ponsel itu ke dalam kantong jas lelaki yang jarinya telah dipotong.

Roni memohon-mohon untuk diampuni, akan tetapi tak digubrisnya. Ia mencoba untuk memberontak dan meraung-raung karena ketakutannya yang teramat besar. Namun, empat orang bertubuh kekar yang memegangi tangan dan kaki, tak membuatnya kuasa bisa lepas dengan mudah dari cengkeraman yang begitu kuat. Tubuh yang terlempar itu meronta pedih menahan sakit. Meski tidak membuat nyawanya melayang. Namun, membuat satu tangan dan kakinya patah. Bahkan, setelah kejadian itu terdengar kabar terakhir jika tulang di bagian punggungnya retak. Sehingga mengharuskannya menggunakan kursi roda.

“Fablo, ikutlah denganku. Yang lain awasi pergerakan musuh. Siapapun itu yang terlihat habisi mereka kecuali Sidiq, sisakan dia menjadi bagianku. Jika sekiranya dalam waktu satu jam aku dan Fablo tidak kembali, segeralah sebagian dari kalian menyusul di area sekitar bandara.”

Hanya berkisar lima puluh meter saja dari pos parkir keluar masuk menuju bandara, jarak mereka berjaga-jaga. Di sebuah halte, mereka menantikan buruan yang selama ini menghilang. Genap dua puluh lima tahun pasca tragedi di malam itu.

“Sudah datang. Bersiaplah!” Tuan Dika berbisik pelan.

Belum sempat berdiri, Fablo sudah dicegah untuk tetap duduk di tempatnya semula.

“Aku sedang tidak berbicara denganmu!”

Matanya seketika menangkap mikrophone kecil melekat di jas lelaki paruh baya itu. Mirip kisah Jackie Chan di dalam film, 'Rumble In The Bronx'. Bedanya, di dalam film tersebut Jackie mengenakan alat komunikasi yang diselipkan ke sela-sela rambut.

Lima sedan hitam melintasi halte. Saling berpandang mata antara kedua kubu. Tak lama berselang, menyusul dari belakang sedan, muncul sebuah bus bandara mengangkut para penumpang yang baru saja mendarat.

“Jadi Paman mengajakku ke sini hanya untuk menaiki bus?” protes Fablo.

“Diam dan ikutlah masuk!” bisik Tuan Dika sedikit membentak.

Ia sengaja memasuki bus di urutan terakhir. Membiarkan para penumpang yang sudah sedari tadi mengantre, masuk terlebih dahulu. Pijakan kakinya belum menyentuh pada anak tangga kedua. Secara tiba-tiba saja salah seorang dari penumpang di dalam bus menodongkan pistol dan memuntahkan peluru. Hingga membuat langkah Dika menghindar dan menuruni bus. Beruntung peluru itu tidak menyarang di bagian kepalanya. Meski akibat dari kebrutalan itu membuat seisi bus panik. Dika melompat turun di saat bus itu mulai kembali melaju.

Ia meraih telepon genggam. Memerintahkan beberapa anak buahnya yang sedari tadi sudah berjaga di luar lintasan bandara.

“Segera kalian pisahkan iring-iringan lima mobil sedan itu dari bus yang mengikuti di belakangnya. Erly dan Ardan, mainkan peran kalian seolah bus itu dikejar oleh kelompok kita. Pastikan sampai anggota kepolisian menyergap bus tersebut.”

Lelaki paruh baya itu tersenyum senang saat mengakhiri pembicaraan via telepon. Baginya, ini adalah sebuah permainan eksotis yang tentunya tidak terpikirkan oleh siapapun. Termasuk Fablo, lelaki bersuara parau dan bertubuh sedang itu. Fablo adalah lelaki yang sedari kecil diasuh olehnya. Dika menemukannya di pinggir jalan raya waktu itu. Ia pun tahu jika sebenarnya Fablo adalah masih keponakan dari Sidiq, anak dari Roni.

“Bukankah kau sama saja seperti mengasuh anak macan. Suatu saat justru ia akan memakanmu sendiri nantinya.”

Keputusan yang pastinya sudah terbaca dengan jelas jika akan menimbulkan konflik untuk dirinya sendiri suatu saat nanti. Lena--perempuan yang tak lain adalah asisten pribadi yang selalu bersamanya--hanya tak ingin terjadi hal yang tak diinginkan ke depannya nanti benar-benar terjadi.

“Aku pernah dikhianati oleh Sidiq yang juga pamannya. Jika aku sendiri pernah dimakan oleh pamannya macan, kenapa harus aku takut dimangsa oleh anak macan?” selorohnya.

Di malam yang dingin dan guyuran hujan deras di malam itu. Tampak sesosok bocah menangis sambil berjalan tiada tujuan. Mungkin benar jika ayah dari anak itu pernah melakukan kesalahan, tapi tidak untuk bocah itu. Dika turun dari mobil dan menggendong bocah tersebut dalam pelukannya.

“Jangan menangis. Kau adalah lelaki. Lelaki itu harus kuat, sekali pun belati menembus punggungnya,” bisik Dika sambil mengelus kepala anak itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.

****

Berita tentang pengepungan bus itu akhirnya muncul juga di media layar kaca. Hal ini memang sudah dinantikan oleh Dika. Senyumnya mengembang puas. Polisi menyergap segala area kemungkinan arah yang akan dilalui oleh bus tersebut. Melakukan negosiasi dan evakuasi selama hampir tiga jam lamanya setelah pihak kepolisian berhasil menghentikan laju bus itu. Tidak ada pilihan selain menyerah. Jalan untuk melarikan diri saja sudah buntu dan terkepung oleh pihak kepolisian.

Sidiq akhirnya berhasil diringkus dengan kasus pembajakan di sebuah bus. Menurut para saksi yang diwawancarai, ketika mereka menembakkan pistol itulah dalam kondisi panik, tiga orang termasuk Sidiq mau tidak mau mengambil alih tujuan.

Sesuai dengan rencana B yang dilancarkan oleh Dika. Emosi dan rasa panik Sidiq dimanfaatkan. Dengan kemunculan dirinya saja di pintu bus sudah memancing reaksi Sidiq yang ceroboh.

Lalu apa rencana A yang digelar oleh Dika? Ia tahu bahwa Fablo tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Untuk itulah ia turut mengelabui Fablo, lelaki yang sudah diasuhnya sedari kecil. Alih-alih dikiranya akan terjadi peperangan dua kubu yang mungkin akan menyita perhatian publik. Justru sebaliknya yang terjadi, Dika hanya beraksi di balik layar tanpa harus turun tangan.

Rencana A itu dibuat seolah dalam pengepungan, seketika itu juga Sidiq dihabisi oleh kubu Dika.

Rencana A memang pada akhirnya bocor ke tangan kanan Sidiq, Genta, melalui Fablo yang masih kerap berhubungan di belakang Dika. Itu sebabnya lima sedan yang melintas di depan halte akan dipikir pihak lawan bahwa Sidiq posisinya berada di dalam. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Sidiq bersama dengan dua orang rekannya menaiki bus melalui bandara.

Dari manakah Dika mengetahui jika Sidiq ada di bus tersebut? Tidak sulit. Sebelum pesawat landing, Dika sudah terlebih dahulu menempatkan beberapa orang pilihannya untuk stay di dalam bandara dengan melakukan penyamaran.

Tangannya tidak perlu kotor untuk menangkap Sidiq yang sudah lama ia tunggu-tunggu kedatangannya.

“Duduklah. Tidak perlu risau seperti itu.” Tuan Dika masih tampak tenang.

“Paman, apakah aku bersalah jika aku melindungi keluargaku sendiri? Mengapa juga kau tidak marah terhadapku?” Dari raut wajahnya, Fablo seakan merasa malu dan gagal.

“Aku akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirimu. Kalau pun kau mau, sebenarnya bisa kau bunuh aku dengan mudah.” Kali ini ia berdiri dan menghadap pada pemandangan di luar jendela.

“Bukankah lebih mudah untuk Paman menelantarkanku waktu itu? Atau bisa saja Paman lebih dulu membunuhku. Paman, sebenarnya dengan cara seperti ini kau secara tidak langsung melibatkanku dalam pilihan yang sebenarnya tak kuinginkan.”

“Bukan pilihan yang tidak kau inginkan. Lebih tepatnya, jadilah penjahat yang budiman.” Masih sempat berkelakar, Dika tersenyum padanya.

“Terkadang memang kita akan dituntut pada sebuah pilihan. Aku tidak akan pernah menyesal, sekali pun suatu hari nanti aku akan terbunuh olehmu.” Dika mengakhiri pembicaraan dan berlalu dari ruang pribadi dalam rumahnya.

Titik NoLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang