Hari ini Dika memutuskan untuk pergi ke luar kota. Sudah lama sekali rasanya dia tidak berkunjung ke makam sang istri. Semenjak keputusannya untuk meninggalkan kota yang pernah ia lewati bersama Tika, tak pernah lagi ia jejakkan kakinya di sana. Hari ini persis di mana hari istrinya dimakamkan. Tiket pesawat telah disiapkan Lena--asistennya.
“Dua tiket?” tanya Tuan Dika penasaran.
“Iya, aku akan menemanimu.”
“Kau serius? Ini bukan urusan kerja.”
“Semua tugas sudah kuserahkan pada Lea. Selama ini aku menemanimu ke mana pun kau pergi. Apakah hari ini, aku tidak boleh menemanimu juga?”
Sedari awal memang Dika menangkap gelagat lain. Bukan tidak mungkin jika Lena menaruh hati padanya. Namun, hingga detik ini ia sendiri tidak bisa menghapus segala kenangan itu, saat-saat ia masih bersama Tika. Seraut wajah masih begitu jelas dalam pikirannya tergambar. Sekalipun ia kini sudah tenang dalam mimpi panjang.
Mungkinkah itu pula yang menjadi satu alasan Lena hingga kini melajang, berharap Tuan Dika mau mengerti akan perasaannya? Walau sebenarnya Lena kerap memberikan perhatian lebih di luar pekerjaan yang diberikan.
“Baiklah, tidak mungkin juga aku menolak.” Akhirnya Tuan Dika menyetujui.
“Aku sudah mengemaskan semua barang-barang yang akan kita bawa. Kita bisa berangkat sekarang. Keberangkatan pesawat pagi ini jam sepuluh.”
“Kita tidak menginap.”
“Aku tahu. Tapi bukan berarti pakaian tidak diperlukan, Tuan, selama perjalanan.”
Dia terlihat di mata Tuan Dika sebagai sosok wanita yang baik. Cantik juga pintar. Selama ini ia mempercayai wanita itu untuk mengelola diskotik dan cafe miliknya. Ia kembali terjun di dunia hitam dan menjalani bisnis narkoba, semata-mata hanya ingin menyingkirkan dan mempersempit ruang gerak bisnis milik Sidiq.
Selama itu pula sudah ada sekitar lima belas orang bandar dari orang-orang Sidiq yang dijebak dan dijebloskan Dika ke dalam penjara. Lima orang telah dihukum mati. Sisanya, masih menjalani hukuman di dalam hotel prodeo. Menantikan kasusnya naik ke meja hijau.
Ini hanya seperti sebuah arisan. Menanti giliran langkah demi langkah menuju pintu sel. Bukan tidak mungkin pula Tuan Dika akan menjalani nasib yang sama. Hanya menanti waktu saja. Untuk sementara ini orang-orang di belakangnya masih cukup kuat melindunginya dari hukuman yang mengharuskannya memakai baju tahanan. Tentunya timbal balik pasti ada. Hukum perdagangan masih berlaku. Tidak heran jika peredaran narkoba hanya berputar-putar dilingkup itu saja. Yang jelas hitam putih dunia tidak akan bisa terhapus. Malam dan siang masih ada, begitu pula dengan kejahatan akan selalu mendampingi kebaikan tanpa bisa dihilangkan salah satunya.
****
Tidak banyak yang berubah ketika kakinya menginjakkan lagi di kota itu. Kota Semarang. Kota di mana dulu ia mengasingkan dirinya dari masa lalu yang pernah ia jalani. Kalau pun fasilitas Mall dan apartemen berdiri megah, itu hanya tambahan di mana kota-kota lain pun juga merehab lahan kosong untuk dijadikan ladang bisnis.Ingatannya terus saja memutar di tiap-tiap tempat yang pernah ia singgahi. Jejak-jejak kenangan, seakan membawanya kembali menikmati masa-masa di mana ia merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna.
Tiba di sebuah pusara. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menahan gejolak perasaannya yang berpadu dan mengaduk-ngaduknya tanpa kendali. Di batu nisan itu ia teteskan air mata bersama dengan menabur kembang melati di atas tanah pekuburan Tika.
“Aku datang. Maaf, jika selama ini aku tidak pernah datang menjengukmu. Pasti kau kesepian beberapa tahun ini tanpa aku.” Ia berbicara seolah Tika ada di hadapannya.
Lena tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya ikut menaburkan melati di atas pemakaman itu.
“Maaf, anda siapa? Kenapa ada di pemakaman ibuku?”
Tiba-tiba saja Tuan Dika dikagetkan oleh suara perempuan yang bertanya heran.
Cepat-cepat ia hapuskan air mata dan memakai kacamatanya untuk menutupi matanya yang masih memerah.
“A-aku, Kakak dari Tika. Perkenalkan.” Tangannya mengajak wanita itu bersalaman.
Dia menyambutnya dengan sedikit ragu.
“Tuan, bukankah ....”
“Ah, istriku. Bisakah tolong kau belikan minuman. Tenggorokanku kering habis berdoa untuknya,” potong Dika cepat.
“Benarkah kau Pamanku?” selidik wanita itu memastikan lagi.
Lena masih sempat mencuri perbincangan sebelum menjauh. Melintas tanya serta curiga penuhi pikiran, bagaimana ia bisa mengaku sebagai paman? Sedang yang ia tahu bahwa keberangkatan ini semata hanya untuk menjenguk makam istrinya.
“Benar. Selama ini aku berada di luar negeri. Kebetulan aku sedang bertugas di Indonesia, makanya kusempatkan datang sebelum aku kembali lagi ke Belanda.” Dika mencoba meyakini.
“Kenapa Ayah tidak pernah menceritakan soal keberadaan Paman di Belanda? Siapa nama Paman?”
“Aku Dika. Kau pasti Cinta, bukan?”
“Dari mana Paman tahu namaku?” Makin membuat Cinta menyelidiki lebih dalam.
“Hei, aku ini Pamanmu. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui nama keponakanku sendiri.”
“Kau sendiri bukankah di Jakarta, kenapa bisa datang kemari?”
Cinta kian terheran. Laki paruh baya ini bahkan mengerti bahwa kini ia menetap di Jakarta.
“Tidak perlu bingung seperti itu. Biaya kuliah dan rumah yang kau tempati itu dari aku. Rusdi, ayahmu, ingin kau sekolah tinggi dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Itu mengapa aku menyerahkan sebagian tabungan kepada almarhum ayahmu untuk membiayai semua kebutuhanmu selama di sana.”
“Kau tidak sedang mengigau kan, orang tua?”
“Cinta Mahardika. Kenapa aku harus membohongimu?”
Sulit rasanya. Bahkan lelaki itu mengeja kepanjangan dari namanya. Walau masih sulit untuk dipercaya, ada banyak hal yang akhirnya mulai diperbincangkan lebih dalam.
“Tuan, minumannya.”
“Terima kasih.”
“Kenapa istrimu mengundangmu, Tuan?”
Dika tersedak. Kekagetan yang disebabkan oleh pertanyaan itu.
“Oh, itu memang panggilan sayang kita. Dia memanggilku tuan. Aku sendiri biasa memanggil terkadang istriku. Lebih banyaknya dengan panggilan Nyonya.”
Cinta mengangguk-ngangguk seakan mengerti dan paham.
“Sinilah, Nyonya. Duduklah di sebelahku. Apa kau tidak ingin mengenal keponakanmu?”
Lena sedikit gugup. Ini pertama kalinya Tuan Dika mengundang dirinya dengan sebutan Nyonya. Merangkul dengan penuh kemesraan, seolah hendak menggambarkan kedekatan itu nyata ada di hadapan Cinta sebagai sepasang suami-istri.
Dua jam sudah di pemakaman itu mereka lewati. Mengungkit soal kedatangan Cinta. Hingga menawarkan ajakan untuk pulang bersama.
“Aku masih sekitar dua hari lagi di sini. Jika Paman ingin mendahului aku ke Jakarta silakan. Aku menyusul.”
“Ah, tentu tidak. Nyonya, nanti tolong pesankan kamar buatku ya. Ma-maksudku untuk kita.”
Ia segera meralat perkataan itu dengan cepat. Sebisa mungkin tidak menimbulkan kecurigaan yang mengundang rasa penasaran Cinta. Walau sebenarnya, sempat wanita itu mengernyitkan sebelah matanya tadi.
“Maafkan aku Tika, Cinta. Jika aku belum bisa katakan yang sebenarnya.” bisik hati Dika di kala melihat Cinta menaburkan melati di atas pemakaman ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik NoL
General FictionMereka hanya melihat itu dari sebuah satu sisi mata uang saja. Bukankah begitu? Tidak ada satu pun di dunia ini mampu merelakan hidupnya hanya untuk sebuah ilusi dan angan-angan semata. Benar saja jika banyak orang mengatakan bahwa hidup dimulai dar...