Prolog

10 0 0
                                    

Asap hitam mulai menebarkan kecemasan. Ledakan dan desing puluru kian beradu suara. Histeris, isak tangis. Berlari pun tiada tujuan demi mendapatkan tempat perlindungan yang aman dari kejaran peluru-peluru yang kian membabi buta dari para gembong mafia.

Menikmati panorama terasa lebih menyenangkan di tepi pantai. Menyeduh segelas susu hangat dan sepotong sandwich. Tidak pernah sekali pun terbayangkan dalam benak Cinta bisa terjebak di tengah kerumunan, yang mungkin saja bisa membuat nyawanya melayang.

“Pergii ...!” Sebelum terlempar beberapa meter, lelaki paruh baya itu berusaha mencegah sosok wanita yang hendak menghampirinya.

Ledakan dari lantai dasar sisakan puing-puing. Kaca-kaca gerai kafe dan outlet yang berserak. Beberapa orang juga turut menjadi korban. Lelaki paruh baya menatap nanar pada sosok yang tergeletak. Wanita itu masih sempat terlihat menggeliat. Mungkin menahan sakit. Sebelum akhirnya beberapa anggota kepolisian mengevakuasi dari lokasi reruntuhan akibat bom.

Kobaran api di sana kian melangit. Lambat laun terdengar sayup dan samar. Seketika gelap lalu mendadak hening.

Suasana belum sepenuhnya kondusif. Barisan Polisi masih berjaga dan menunggu saat yang tepat untuk bergerak menuju ke dalam. Lima mobil pemadam kebakaran baru saja tiba dan bergerak menjinakkan api.

“Apakah kau takut? Maafkan aku jika telah membuatmu terjebak dalam situasi seperti ini.” Lelaki paruh baya itu mencoba untuk menenangkan.

Ia tidak boleh berdiam diri saja terjebak di dalam  posisi sulit seperti ini. Tidak pula ingin mengulang sejarah untuk kedua kalinya membiarkan orang terdekat yang dicintainya menghilang dari muka bumi.

“Aku yang salah. Aku yang telah mengajakmu bertemu di tempat i ....”

“Sudahlah, aku mengerti.“

Sesekali lelaki paruh baya itu melontarkan tembakan agar musuhnya tidak mendekat.

“Aku tidak akan membiarkan maut merebut kehidupanmu seperti bagaimana dulu ia merebut ibumu dari sisiku!”

Ia berlari membawa serta wanita itu. Saling serang beradu peluru tak terelakkan.  Tubuhnya dijadikan perisai. Menjaga wanita yang berada di sisinya dari ancaman peluru-peluru musuh.

Meski ia berhasil lolos dari kepungan. Aksi kejar-kejaran masih berlanjut di sepanjang jalan raya. Hingga membawanya pada tempat yang kini telah menjadi puing-puing reruntuhan.

“Apakah aku gagal? Tidak mungkin. Siiaaalll ...!” Penyesalan melingkupi hati dan pikiran, sebelum akhirnya ia benar-benar tergeletak dan tak sadarkan diri.

Titik NoLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang