“Apa hanya karena wanita pilihan orang tuamu saja, lantas dengan mudahnya kau beralasan untuk meninggalkan aku?”
Sepertinya Cinta sedang mengalami masa-masa menstruasi. Bagaimana tidak, tensinya belakangan ini terasa memunculkan energi bertegangan tinggi.
Sepulang dari kota lumpia, kekesalan masih menguasai. Begitu larut hingga di ruang pikiran dan hatinya. Sepanjang perjalanan pulang tidak ada sepatah kata menyembul untuk sekadar basa-basi agar sedikit saja mencairkan suasana.
Beberapa kali pula Lena mencuri kesempatan, agar di antara keduanya tidak saling menunjukkan sisi wajah yang tegang. Tetap saja keduanya bergeming.
“Dua-duanya sama-sama keras kepala. Persis seperti dirimu!” gerutu Lena kesal dengan berbisik tentunya.
Beruntung kursi mereka terpisah. Tak tahu apa jadinya jika Cinta mencuri dengar ucapan itu.
“Aku kemari tidak ingin berdebat. Ini kartu undangan untukmu.”
Sungguh lelaki itu tidak membayangkan juga tidak memikirkan bagaimana perasaan Cinta. Belum lama mereka berpisah. Masih terhitung bulan juga. Mendadak datang beserta sebuah undangan di tangan. Meresmikan ikatan tali pernikahan dengan perempuan lain.
Perkenalan singkat. Masih dalam hitungan hari. Sedang hubungan yang sudah dijalani oleh mereka dahulu berkisar enam tahun berjalan. Terbengkalai begitu saja. Seperti rumah yang ditinggal oleh penghuninya. Tidak memiliki kejelasan. Memaknai kekosongan mungkin lebih merealita daripada sekadar berharap akan adanya seseorang mau menempati.
Seumpama saja bisa untuknya menangis. Namun, apakah lantas akan membalikkan keadaan menjadi seperti dulu?
Ini bukan lagi drama rekonsiliasi. Tidak ada tawar menawar atau meminta pertimbangan untuk diberikan kesempatan, supaya kelak tidak ada penyesalan menyelimuti di kemudian hari.
“Selamat!”
Entah itu ucapan yang sesungguhnya ataukah satire supaya Aditya bisa sedikit saja memahami posisi Cinta saat ini yang sedang berpura-pura tegar.
“Cinta ....”
“Iya.“
Tatap mata lelaki itu sudah cukup menjelaskan, betapa berat sebenarnya untuk melepaskan.
“Tidak apa-apa. Lupakan.”
Langkahnya lebih memilih untuk lebih cepat meninggalkan toko bunga. Tempat di mana Cinta bekerja.
Mata indah itu mulai tampak berkaca-kaca. Bibirnya bergetar merasakan getir. Untuk kedua kali dalam hidup Cinta merasakan kehilangan tanpa sebab. Selalu berakhir misteri. Tentang kematian ibunya yang masih menjadi rahasia, juga sosok Aditya kini yang secara tiba-tiba saja berlalu tanpa sebab yang jelas.
“Apa yang kau pikirkan? Masih memikirkannya?”
“A-ayahku. Aku merindukan Ayahku.” Matanya sembab. Semalaman ia terus menangis dan belum bisa menerima kenyataan itu.
“Setiap manusia pasti suatu saat merasakan kehilangan. Menangislah. Jika menangis itu bisa memberimu kelegaan. Tidak ada satu pun yang ingin merasakan kehilangan dalam hidupnya. Itu kenapa kita diciptakan memiliki perasaan. Karena cinta tidak selalu menuliskan bagiannya, di mana ketika kita mengecap bahagia. Sedih itu perlu. Supaya kita, mungkin bisa lebih banyak belajar bahwa itu pun adalah kebahagiaan juga. Bagian kita hanya membutuhkan rela untuk melepaskannya, supaya lebih mengerti bahwa kepergian itu memberikannya kebebasan dari penderitaan di atas bumi ini.” Aditya berusaha untuk terus menguatkan.
“Aku akan selalu ada dan menemanimu, Cinta. Jika kita pernah melewati masa yang berat. Di depan nanti, yang lebih berat akan lebih terlihat. Dan aku akan selalu berada di sisimu,” tambahnya sambil menggenggam tangan wanitu dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik NoL
General FictionMereka hanya melihat itu dari sebuah satu sisi mata uang saja. Bukankah begitu? Tidak ada satu pun di dunia ini mampu merelakan hidupnya hanya untuk sebuah ilusi dan angan-angan semata. Benar saja jika banyak orang mengatakan bahwa hidup dimulai dar...