Bab V

1 0 0
                                    

“Anak bodoh! Seatap dengannya tapi tidak melakukan apapun. Aku ini ayahmu yang telah dihancurkan kehidupannya oleh dia!”

Bayangan dari cermin itu seolah menghakimi Fablo dengan menyerupai bentuk dan wajah sang Ayah. Matanya perih. Ketakutan dalam jiwanya semakin kuat. Pekat hati dan kecut mulai menjalar di sekujur aliran darah dalam tubuh.

Usianya masih delapan tahun saat ia ditinggalkan. Ibunya entah pergi ke mana. Keadaan Roni sendiri seperti mayat hidup. Merasakan beberapa bulan di atas kursi roda sudah menghilangkan semangatnya. Dokter kala itu memang memvonis, kemungkinan kecil baginya untuk bisa sembuh dan menjadi normal.

Di malam itu, Roni sudah tak kuat lagi. Ia sendiri yang memaksa anak itu untuk membawanya ke luar dari rumah. Meski hujan deras, ia tetap memaksa Fablo untuk tetap menuruti permintaannya. Lelaki kecil itu mengikuti. Ia keluar mendorong kursi roda yang menjadi tumpuan tubuh ayahnya yang sudah tak mampu lagi berbuat apapun.

“Hanya kau satu-satunya kini yang kumiliki. Jangan lemah. Ayah ingin pergi, selamanya. Jaga dirimu baik-baik.”

Fablo menangis kencang. Ia meraung dan memanggil seraya menahan tangan Roni. Lelaki yang sudah merasa tidak mampu lagi untuk menjalani hidup, pada akhirnya menjatuhkan diri masuk ke dalam aliran sungai yang deras.

Anak itu tambah menangis sejadi-jadinya. Tidak tahu pula apa yang harus dilakukan dan bagaimana bisa menjalani kehidupannya kelak.

Hingga pada saat itu juga, ia pun melayangkan pukulan ke arah kaca dan menghancurkannya berkeping-keping. Tetesan darah mengalir dari kepalan tangan itu.

Ia pula sendiri yang membalut tangannya dengan perban dan menuju ke luar ruangan.

Buku-buku tertata rapi di lemari. Mirip seperti sebuah perpustakaan. Di ruangan itulah biasanya Dika menghabiskan waktu kosongnya. Di atas sebuah meja terdapat sepucuk pistol, botol minuman, dan buku yang bertumpuk sebanyak lima buah. Dika masih membaca dengan serius. 'The Songs of Achilles', kisah yang dibaca Dika mengenai kehidupan Patroclus yang diasingkan ke istana Raja Peleus dan putranya, Achilles.

Tak disangka, Dika melemparkan sepucuk pistol itu dan berkata, “Ambillah. Untuk apa kau melukai dirimu sendiri hanya untuk menahan dendam yang membara di dalam dadamu.”

Peluang besar yang diberikan itu semakin membuatnya benar-benar kacau menguasai dan membelenggu pikiran.

Masih sangat membekas manakala di waktu itu, beberapa anak buah Dika yang mengetahui bahwa tuannya mengasuh seorang anak dari musuhnya, memperolok-olok Fablo kala itu. Bahkan, pernah ia mengalami siksaan fisik entah pukulan atau tendangan. Di saat keberadaan Dika selalu tidak berada di rumah. Anak itu menjadi bulan-bulanan dan pelampiasan. Mereka sendiri pun tidak mungkin berani meninggalkan memar di tubuh lelaki kecil yang malang itu. Mereka hanya membuat perasaan seorang anak kecil menjadi terkucil dan membuatnya merasa bahwa dengan status yang diangkat menjadi anak asuh, tidak lantas menjadikannya bos kecil yang bisa sesuka hati memerintahkan mereka nantinya.

Hal itu tak berlangsung lama. Dika pada akhirnya mengetahui apa yang terjadi pada Fablo. Di hadapan seorang anak kecil yang menatap takut dan tidak berdaya pada keadaan di waktu itu, Dika memberikan mereka hukuman. Bagi mereka yang kerap melakukan tindak pembulian. Setelahnya, mereka harus mengakui salah seraya meminta maaf pada Fablo kecil.

“Kali ini aku memaafkan kalian. Mungkin jika hal ini terjadi kembali, aku tak akan segan menghilangkan nyawa kalian semua!” tegas Dika di hadapan lima orang yang tertunduk malu dengan telanjang dada penuh memar di tubuhnya.

“Apapun itu, kau tetaplah kuanggap sebagai anak kandungku, Fablo.” Ia memeluk dan membawanya ke luar rumah.

Situasi kali ini berbeda. Dua mata saling beradu pandang. Membaca gerak-gerik. Denting waktu seakan turut andil menentukan pergerakan.

Titik NoLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang