Bab II

6 0 0
                                    

“Anakkuu ...!”

Suara isak tangis sosok wanita dan raungan kembali menegurnya melalui mimpi. Tidak asing untuk mengenali siapa gerangan yang belakangan ini selalu hadir di tiap-tiap malamnya.

Sebagai seorang pria, terkadang ia malu karena bisa membiarkan hal itu terjadi. Namun, apalah daya di ketiadaan dirinya yang memang tidak lagi memiliki pengikut. Tidak ada satu pun yang membantunya di tengah kerumunan kala itu. Padahal, masih ada satu dua orang melintas. Setidaknya melaporkan kejadian yang telah dilihatnya kepada pihak yang berwajib. Seperti kawanan domba saja yang dikelilingi para serigala lapar.

Kisahnya berawal di saat Dika baru saja keluar dari lapas. Tak lama berselang, ia bertemu dengan seorang wanita. Wajah tirusnya. Rambut ikal dan panjang yang bergelombang. Disertai senyum yang tak pernah lelah menyapa tiap-tiap orang yang ditemuinya, membuat Dika memerhatikan dan merasa adanya ketertarikan untuk bisa mengenalnya lebih dekat. Tidak sulit sebenarnya. Melalui orang-orang terdekat, dengan mudah ia mengetahui siapa gerangan wanita yang sudah membuat hari-harinya tak nyaman.

Bukan tidak mengerti siapa Dika.  Siapa pula yang tak mengenali dia. Lagipula tidak ada seorang pun yang ingin berurusan dengannya, apalagi jika orang tersebut dari kalangan keluarga baik-baik.

“Jika kau menginginkan dia, anakku, apakah kau bisa tidak membawanya dalam segala risiko dan bahaya? Apakah kau sanggup menjaganya?” Tegas sosok Ayah dari wanita itu. Meski ia tahu betapa berat melepaskan anak gadisnya begitu saja.

“Bila perlu aku akan pergi jauh meninggalkan kota ini. Asalkan aku bisa bersama dengan dia,” jawab Dika meyakinkan.

Tidak sekadar omong kosong. Segala kepunyaan yang dimilikinya rela ia tinggalkan dan berlalu tanpa pesan. Dika benar-benar menghilang.

Di tahun terakhir itulah ia diberikan seorang bayi yang cantik. Tuhan menghadirkan bayi perempuan melalui rahim Tika di usia persis tiga tahun pernikahannya.

Lekaslah pergi dari kota ini. Semenjak kepergianmu, Sidiq berhasil mengambil alih semua bisnis milikmu. Bahkan, mertuamu telah dibunuhnya. Menurut penyelidikan dan keterangan saksi-saksi ia melakukan itu demi mencari di mana keberadaanmu sekarang. Anggota kepolisian juga sedang mencari keberadaannya.

“Terima kasih untuk infonya,” tutup Dika mengakhiri pembicaraannya via telepon.

Sekujur badannya seakan lemas. Bayi itu masih terpulas di ruang perawatan. Ia terlelap setelah berjuang untuk dapat bisa melihat indahnya dunia. Matanya berkaca-kaca sedang kondisi istrinya masih belum stabil dan tak mungkin berita kepergian ayahnya disampaikan. Di saat-saat seperti ini.

Melewati pasca bersalin. Menunggu enam jam lebih lamanya, mau tidak mau ia harus membawa keluarganya untuk segera pergi. Bukan saja meninggalkan rumah sakit, akan tetapi juga bergegas meninggalkan kota ini dan mencari tempat persembunyian yang lebih aman.

Nasib berkata lain. Hujan lebat yang ia pikir bakal menghentikan pencarian akan dirinya, ternyata salah dan tidak sedikit pun mengurungkan niat Sidiq untuk bisa bertemu dengannya.

“Tak pernah aku berpikir untuk meninggalkanmu. Sekalipun telah kutinggalkan semuanya dan memilih untuk hidup bersamamu. Apakah kau menyesalinya, Tika?”

Ia menangkap adanya firasat yang tidak baik. Seorang perempuan tentulah tidak pernah salah membaca hal itu. Tika cukup mengerti dan mengenal pria yang selalu bersamanya. Tentunya ia memliki alasan yanf tepat, ketika kekhawatiran melingkupi hatinya. Hingga langkah-langkah untuk memastikan terkuak menjadi sebuah pertanyaan.

“Bayi kita cantik. Sudah kau pikirkan nama untuknya?”

“Cinta. Sebab bukan kematian yang aku takutkan, melainkan cinta. Itu mengapa Ayah akan menamaimu Cinta. Cinta Mahardika. Agar, kau tau bahwa aku sangat mencintaimu dan juga ibumu.” Mata lelaki itu berkaca-kaca menatap buah hatinya, sedang istrinya menggenggam erat tangan lelaki itu.

“Aku akan selalu bersamamu, Dika. Aku tidak sedikit pun menyesal melewati waktu bersamamu selama ini. Sekali pun maut nantinya mengambil salah satu di antara kita.”

Taksi yang kian terjepit di tengah jalan yang lengang. Kepergian Nurdin, ayah Tika yang tewas di tangan Sidiq. Sampai menjelang kematiannya, bahkan ia belum sempat mendengar kabar tentang kematian ayahnya sendiri. Masih begitu jelas memori berputar dan seolah terus membakarnya hingga mengurung di dalam kebencian akan dirinya sendiri.

Masih terasa basah jejak dalam ingatan, detik-detik di mana Tika yang kondisinya masih belum begitu pulih diseretnya keluar dan dihadapkan pada dirinya yang masih tak berdaya. Dentuman keras bak suara riuh mercon di tahun baru menghentakkan kesadarannya. Keringat dingin mengalir deras membasahi tubuh yang separuh sudah digerogoti oleh usia. Seolah yang ia rasakan darah segar Tika mulai mengalir dan melumuri sebagian badan Dika.

Senyum itu. Ketenangan itu. Tak sedikit pun memancar rasa takut meski maut seakan sedang mengulurkan tangan dan secepatnya ingin membawa pergi dari dunia ini. Sebelum napasnya menghilang dan peluru benar-benar menembus jantungnya.

****
“Putriku, kau terlihat sangat cantik.”

Tidak. Langkahnya tidak boleh mendekat sekali pun itu sangat ia inginkan. Memeluknya, mengajaknya berjalan bersama, tertawa, dan saling berbagi cerita itulah yang sangat diinginkan dalam hati seorang Ayah. Tidak ada satu orang tua pun menginginkan adanya jarak meski ia begitu dekat di hadapan mata.

Dika terlalu takut kehilangan. Ia merasa sudah gagal menjaga istrinya kala itu. Untuk kali ini, ia tidak menginginkan kesalahan itu kembali terulang dalam hidupnya.

Ia sendiri tidak menginginkan ketika kematian datang menjemput, anak gadisnya tidak mengenali dia sebagai ayah kandung.

Dika kembali mengumpulkan orang-orang kepercayaan yang masih memiliki kesetiaan terhadap dirinya. Satu per satu, kembali ia rebut apa yang sedari awal memang sudah menjadi miliknya. Sayangnya, saat ia memasuki daerah perjudian dan diskotik tidak lagi ditemui keberadaan Sidiq. Segala aset yang dipegang, semua diserahkan kepada adiknya karena status hukum yang menjerat Sidiq kala itu.

“Bawa Roni ke hadapanku!” perintah Tuan Dika.

Dilemparkannya hingga terjatuh di bawah kaki Dika. Dendamnya semakin membara melihat penampakan manusia yang di selubung ketakutan sangat. Seumpamanya saja ... sayangnya, kata umpama itu sudah tidak lagi berlaku. Toh, jika pun masih bisa diucapkan tetap saja tidak bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Mengembalikan nyawa Tika untuk berada di sisinya kembali.

Siang itu masih cerah. Lalu lalang kendaraan, bunyi klakson saling bersahutan,  hingga tidak sabarnya para sopir angkot memprotes kencang atas macetnya jalan raya, semakin meredam jerit ketakutan yang bersumber dari dalam ruko.

“Tinggalkan wilayah ini. Jangan sekali-sekali kau tampakkan wajahmu. Jika saja masih kudapati, aku pastikan bukan hanya jari manismu yang terpotong, melainkan tubuhmu akan ikut kupotong-potong!”

Mereka yang menyaksikan bergidik ngeri. Cincin emas yang masih melingkar di jari yang terpotong itu diambil dan dipasangkan pada jari manis Dika. Cincin milik istrinya sewaktu tragedi itu terjadi, kini telah direbutnya kembali.

Dua puluh tahun sudah persoalan itu terlewat. Kasus yang menimpa Sidiq pun sudah dianggap kedaluwarsa.

“Setelah ini semua berakhir, aku berjanji akan menemuimu. Sekali pun nantinya tidak kau anggap aku sebagai ayahmu, Cinta.” Dalam hening dan matanya memandang, Dika memastikan itu di dalam hatinya.

Titik NoLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang