15 - Budak Setan

1.1K 121 0
                                    

Tak terasa, waktu berlangsung begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa, waktu berlangsung begitu cepat. Leo menghabiskan sepanjang harinya bersama beberapa teman.

Teman-teman Leo sendiri ada yang membuka kafe dan bar di beberapa wilayah di kota. Berbeda dengannya yang tidak punya pekerjaan, teman-teman Leo sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sehingga selama satu hari itu dirinya berpindah-pindah ke satu tempat ke tempat lain. Ke satu teman ke teman lain, kemana pun itu asal tidak kembali ke rumahnya.

Hingga malam pun tiba. Ia masih enggan untuk pulang ke rumah, dan akhirnya ia memutuskan untuk menginap di hotel malam itu. Tak hanya itu, Leo juga mengajak teman wanitanya untuk di menemaninya di hotel. Tujuannya supaya Leo tidak sendirian di sana. Ia masih dihantui rasa takut dengan para setan yang terus menerornya meminta tumbal.

Wanita itu bernama Saras. Dengan jaket jeans dan celana pendek ketat, ia duduk di samping Leo yang tengah mengemudi. Jendela mobil ia buka sedikit, membuat udara malam yang dingin masuk ke mobil. Saras melihat ke luar jendela sambil menghisap sebatang rokok di tangannya.

“Jadi ... Gimana kerjaan kamu, Leo? Kayanya kamu makin kaya aja ya,” kata Saras sambil terus melihat ke luar jendela.

“Iya, tentu. Bisnisku banyak di mana-mana. Udah banyak yang berjalan selama ini, jadi kadang aku cukup duduk di rumah dan menunggu kabar, Mungkin kalau ada perlu aja aku datang ke kantor,” jawab Leo sambil menyetir.

Bohong!

Tiba-tiba suara bisikan terdengar di antara mereka berdua. Bahkan Saras pun ikut mendengarnya. Ia langsung menoleh ke arah Leo saat mendengar bisikan itu, mata mereka berdua saling pandang beberapa detik. Saras memasang ekspresi bingung di wajahnya. Kemudian ia menoleh ke bagian belakang mobil, mengecek dari mana asal suara itu. Akan tetapi tidak ada apa-apa di belakang.

“Kamu denger gak tadi?” tanya Saras.

“D-Denger apa?” Leo yang gugup justru bertanya balik.

“Ada yang bisik-bisik di belakang,” jawab Saras yang kemudian kembali menghisap rokok dan membuang asapnya ke luar jendela.

“Ah, itu bunyi mesin. Gak tau aku juga, nanti aku coba cek ke bengkel deh. U-Udah kaya gitu,” kata Leo mencari alasan.

Bohong!

Suara bisikan itu kembali terdengar. Saras mulai merasa aneh, ia menatap serius ke arah Leo. Wajah yang mulai tegang. Sementara Leo menghela nafas malas sambil memegangi kepalanya.

“Leo, mana ada suara mesin bunyinya bohong, gila?” tanya Saras yang mulai serius. Leo tak menjawab dan hanya diam. Saras lalu memalingkan wajah sambil menggelengkan kepala. “Mending kamu cepetan deh, daerah ini angker kali nih. Duh, jadi merinding,” kata Saras yang kemudian membuang puntung rokok ke luar mobil dan menutup kaca jendela.

Sambil menyetir, Leo melirik ke spion tengah. Tampak dari spion tengah itu, sesosok kuntilanak sedang duduk di belakang sambil memperhatikan mereka berdua. Leo yang sudah biasa melihat itu pun hanya bisa diam dan berusaha mengendalikan dirinya. Supaya Saras tidak ikut ketakutan. Leo pun fokus menatap ke depan dan memacu kendaraannya secepat mungkin menuju hotel.

***

Setelah beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya Leo sampai di sebuah gedung yang besar dan mewah. Sebuah hotel bintang lima dengan kualitas terbaik di kota bahkan di negara ini. Tempat di mana para pejabat dan pengusaha kelas atas menginap. Bagi Leo, harga per malam hotel ini bukan apa-apa. Uangnya selalu cukup untuk membayar dan membeli apapun yang ia mau.

Mereka berdua menyewa sebuah kamar di lantai tujuh. Kamar yang sangat luas dan mewah. Di bagian depan terdapat sofa-sofa lebar memanjang berwarna merah dengan hiasan emas di pinggirnya. Sebuah televisi besar terpampang di ruang tamu. Lantainya dilapisi dengan karpet merah yang halus dan lembut.

Di bagian ujung, sebuah jendela raksasa terpajang. Menghadap langsung ke pemandangan perkotaan yang penuh dengan gedung pencakar langit yang lampunya berwarna-warni. Jalan-jalan yang ramai akan kendaraan, beriringan dengan suara klakson yang bersahutan.

Setengah jam setelah check-in, Leo izin untuk pergi ke lantai bawah untuk mengurus sebuah urusan di bawah. Ia tinggalkan Saras seorang diri di kamar hotel. “Aku ada urusan bisnis, kamu sendirian dulu ya,” kata Leo sebelum berjalan ke luar kamar. Saras pun tak masalah bila Leo meninggalkannya sebentar.

Ia kemudian berjalan melewati lorong hotel yang sepi. Sesekali berpapasan dengan petugas hotel yang sedang bekerja di beberapa kamar. Leo masuk ke dalam  lift sambil berusaha menelepon seseorang. Orang itu adalah Ki Danang yang agak sulit untuk dihubungi karena kendala sinyal di desanya.

Bahkan sampai Leo tiba di lantai bawah pun, Ki Danang belum mengangkat teleponnya. Leo berjalan ke lobi hotel, kemudian duduk di sofa yang cukup lebar dan panjang. Ia bersandar santai di sana sambil menikmati suasana sekitar.
Akhirnya, pria tua itu mengangkat teleponnya. Buru-buru Leo menempelkan handphone ke telinganya. “Halo, Ki?” sapanya melalui sambungan telepon.

“Halo, Leo,” balas Ki Danang.

“Ki, ada masalah, Ki. Setan-setan itu kembali ganggu saya, udah parah, Ki. Sampai saya gak berani pulang ke rumah,” kata Leo menjelaskan.

“Ya kamu harusnya udah paham dong kenapa mereka ganggu kamu? Pasti mereka menagih sesuatu, kamu inget perjanjiannya, kan?” tanya Ki Danang.

Leo paham betul apa yang dimaksud oleh pria tua itu. Ia menelan ludah dan wajahnya berubah gugup. “Saya gak bisa lagi, Ki. Saya gak bisa bunuh orang lagi, saya gak mau!” kata Leo.

“Lho? Terus gimana dengan perjanjianmu? Kamu jangan main-main, Leo. Setan yang membuat perjanjian denganmu ini bukan sembarangan, energinya sangat kuat!” ucap Ki Danang yang mulai serius.

“Ki, kalau saya mau putuskan perjanjiannya bisa gak? Saya mau sudahi aja perjanjiannya sampai di sini, udah cukup, Ki. Saya gak mau berurusan sama mereka lagi.” Leo kembali meminta pertolongan Ki Danang.

Mendengar itu, Ki Danang tertawa kecil. “Leo, leo,” katanya dengan nada remeh. “Sekali kamu membuat perjanjian dengan setan, maka selamanya kamu gak akan bisa lepas. Kamu gak bisa seenaknya memutus perjanjian begitu saja. Mentang-mentang sekarang hidupmu sudah enak, kamu udah kaya dan banyak uang, terus kamu mau kabur gitu aja? Gak bisa, Leo. Para setan itu akan terus menuntut apa yang pernah kamu janjikan kepada mereka!” tutur Ki Danang memberi penjelasan.

Leo semakin frustasi mendengar penjelasan dari Ki Danang. Ia menggaruk kepalanya, wajahnya mulai kacau.
L “Terus gimana dong? Saya udah gak mau lagi bunuh orang, saya gak mau lagi perjanjian ini, Ki! Ki Danang bisa bantu saya, kan?” tanya Leo.

“Maaf, Leo. Ini urusanmu dengan setan itu, aku tidak bisa ikut campur. Sejak awal kamu yang melakukan kesepakatan di dalam gua. Aku hanya sekedar mengarahkan saja, selebihnya segala resiko kamu tanggung sendiri,” ucap Ki Danang menolak.

“Saya sanggup bayar berapa pun ke Ki Danang, asal Aki bantu saya!” tawar Leo menjanjikan bayaran tinggi.

“Leo! Mentang-mentang uangmu banyak, kamu pikir kamu bisa kendalikan aku dengan uang harammu itu? Ingat siapa yang membuatmu jadi seperti sekarang. Jangan kurang ajar kamu!” kata Ki Danang yang mulai kesal. “Lakukan saja apapun kemauan setan itu. Sekarang kamu adalah budak mereka, kamu gak akan bisa lepas, Leo. Kemana pun kamu kabur, mereka akan menemukanmu!” Setelah itu, Ki Danang langsung mematikan teleponnya.

“Bangsat!” Leo kesal dan mengumpat sambil menendang meja. Membuat para pelayan dan resepsionis hotel kaget. Leo semakin stres dan frustasi. Tak ada jalan keluar atas apa yang sudah ia perbuat. Kini, ia dipaksa menanggung segala resiko yang datang dari kesepakatannya dengan setan. Tak ada jalan keluar untuknya.

.
.
.

Kini Leo semakin terkekang, hampir tak ada jalan keluar baginya. Perjanjian itu tak bisa disudahi, Leo dalam bahaya!

Apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana nasib Leo? Simak terus kelanjutan kisahnya! 🔪💀

Vote dan komen dong kk :)

Jerat Maut Perjanjian Setan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang