Happy reading, semoga suka ya. Maaf saya agak pelan update ya, karena lagi sibuk ama pekerjaan, maybe sampai pertengahan Desember. Anyway happy reading.
Ada update baru di karyakarsa juga, yang udah pernah punya di google Play ga usah beli lagi ya.
This is a dark romance, jadi yah gitu deh, ceritanya rada rada gelap. And for adult ya.
Preview
Luv,
Carmen___________________________________________
Josephine tak ingin memikirkan harinya.
Tepatnya, ia tak ingin memikirkan apa yang sebenarnya dilakukan bosnya bersama kekasihnya sepanjang siang, jauh melewati waktu makan dan kembali nyaris terlambat untuk menghadiri rapat. Saat ia duduk di samping pria itu dalam rapat membahas pembangunan cabang baru, Josephine berusaha keras untuk fokus dan tak terlalu memikirkan apa yang mungkin dilakukan pria itu tadinya.
Tak ada gunanya ia menebak-nebak, tak ada gunanya ia cemburu, tak ada gunanya juga ia menyiksa diri. Itu hanya akan membuatnya melakukan kesalahan. Tapi Josephine jadi berpikir apa yang akan dilakukan Russell bila ia tak mencatat apapun dalam rapat ini, apa pria itu akan memecatnya? Hampir pasti. Tapi bukankah itu bisa menyelesaikan banyak masalah? Jika Josephine dipecat, ia tak akan punya alasan selain terpaksa meninggalkan tempat ini. Dengan demikia, ia juga dipaksa untuk membunuh perasaan cintanya dan melanjutkan hidup. Bukankah itu solusi yang tepat untuknya?
Hah! Ia ingin tertawa. Ia tak mungkin sanggup. Rasa takut bahwa ia tidak akan bisa lagi melihat pria itu membuat Josephine mundur seribu langkah. Ia lebih memilih untuk mencintai dan menatap pria itu diam-diam serta menyiksa dirinya dengan angan yang tak kesampaian daripada harus keluar dari hidup Russell selamanya. Itu adalah pilihan Josephine.
Saat ia pulang malam itu ke apartemen mungilnya, ia menghempaskan diri ke sofa dan mendesah keras. Tak ingin pikirannya terus-menerus dikuasai Russell Maxwell yang tampan tetapi buta itu, Josephine meraih majalah gaya hidup edisi terbaru yang baru dua hari lalu dibelinya tapi belum sempat dibacanya. Tangannya membuka acak, menyortir judul-judul itu tanpa terlalu bersemangat sampai kemudian ia berhenti di halaman tengah, judul besar itu mencuri perhatiannya sekaligus mencubit hatinya.
'Apakah bachelor paling 'eligible' di San Jose sudah siap melepas status lajangnya? Siapa wanita beruntung yang akan berhasil menggiring Russell Maxwell tepat ke altar?'
Reaksi pertama Josephine adalah melempar majalah itu. Ia tak ingin membacanya. Ia tak mau tahu. Tapi itu hanya bertahan sedetik. Ia kemudian meraih majalah itu lalu masuk ke kamar. Duduk di meja rias nya, ia memb uka kembali majalah itu dan membaca kalimat demi kalimat yang tercetak di sana.
Benarkah?
Apakah Russell benar-benar akan menikahi Poppy Lewis? Apakah kali ini pria itu benar-benar serius? Apakah pada akhirnya Russell Maxwell benar-benar jatuh cinta? Jadi itukah yang mereka bicarakan sepanjang sesi makan siang yang lama? Detail pernikahan mereka?
'Dari sumber terdekat Poppy Lewis kami mendapatkan fakta mengejutkan. Russell Maxwell, sang lajang tampan penguasa kerajaan bisnis Department Store di San Jose ini ternyata telah melamar model cantik kita dalam sebuah pesta kecil tertutup. Saat ditanya kapan rencana pernikahan ini diadakan, sumber itu mengatakan bahwa belum ada tanggal yang pasti. Namun dia yakin kalau keduanya sepakat untuk menikah sebelum tahun depan.'
Beginikah rasanya patah hati? Josephine merasakan dorongan untuk meraung dan menangis tapi panas yang membakar dadanya membuat ia tak bisa mengeluarkan suara. Tengah dadanya terasa sakit, darahnya menderu hebat sebagai reaksi atas rasa perih di hatinya, jantungnya menggemuruh hebat. Ia kecewa, ia patah hati, ia terluka. Mengapa? Mengapa bukan dirinya? Mengapa Russell tak mencoba menatap Josephine sedikit lebih lama?