Bab 7

9.3K 1K 34
                                    

Happy reading, finally finally can update, semoga masih menunggu.

I also uploaded my old story in Karyakarsa, yang udah via googleplay jgn beli lagi ya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nah ini klo dah transaksi tinggal klik lihat, bentuknya PDF jadi rapi deh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nah ini klo dah transaksi tinggal klik lihat, bentuknya PDF jadi rapi deh.

Kek gini:

Jatuhnya kek ebook di googleplay juga, oke banget wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jatuhnya kek ebook di googleplay juga, oke banget wkwkwk...

Happy reading

Luv,
Carmen

___________________

Ya, memang seperti inilah rasanya patah hati. Memang menyakitkan! Ia sungguh ingin membenci Russell.

Tapi Josephine hanya bisa menangis.

Ia terisak pelan, air matanya yang tumpah membuat perasaannya sedikit lebih baik. Sungguh menyedihkan, hanya inikah yang bisa Josephine lakukan? Menangis diam-diam?

Josephine lalu mengangkat wajah dan menatap dirinya sendiri di cermin. Ia tampak jelek dan berantakan. Mata di balik kacamatanya memerah bengkak, hidungnya juga merah, wajahnya yang bulat membuatnya tampak seperti anak kecil yang tidak menarik. Kesal, Josephine melepaskan rambutnya hingga tergerai dan langsung mengerang tertahan. Tak heran Russell tak tertarik padanya.

Kesal, juga marah pada dirinya sendiri, ia melepaskan kacamata lebarnya lalu mulai menyisir rambut cokelat tebalnya yang sedikit ikal dan selalu mengembang. Mengapa? Mengapa ia tidak bisa seperti Poppy Lewis? Josephine yakin kalau Poppy tak perlu bersusah payah menyisir rambutnya dan masih tetap kelihatan seolah dia baru saja keluar dari salon rambut ternama. Sementara Josephine? Ia menatap bayangannya di cermin dan mendengus.

Apa sih yang paling menarik dari dirinya? Josephine menatap lama ke dalam cermin dan belum bisa menemukan jawabnya. Sebagai ganti, sepasang mata biru cerah itu melotot balik menatapnya.

Well, jika dilihat agak lama, sebenarnya mata Josephine lumayan. Apalagi jika dilihat dari jarak dekat, sama sekali tidak jelek. Matanya malah terlihat cerah dan bercahaya. Tapi sayang, kedua mata birunya harus bersembunyi di balik kacamata lebar berlensa tebal. Jadi, harapannya untuk memikat Russell lewat tatapan maut tidak akan pernah berhasil. Lagipula buat apa repot-repot, Russell tak pernah sekalipun menatap ke dalam mata Josephine. Intinya, pria itu tak menganggapnya sebagai wanita.

Nah, memangnya apa yang diharapkan Josephine, bukan?

Bahkan ia bisa menilai penampilannya sendiri. Josephine tahu secara keseluruhan ia menampilkan kesan membosankan. Wajahnya selalu nyaris tanpa riasan : sedikit pelembap, sedikit bedak padat, lalu pelembap bibir. Rambut tebalnya selalu dicepol ke atas dengan gaya sama. Gaya berpakaiannya apalagi, sama sekali tidak modis, ia hanya nyaman dengan kemeja berwarna netral yang selu dipadukannya dengan rok pensil gelap yang panjangnya selalu mencapai lutut. Wajar saja jika tidak ada yang sudi meliriknya. Apalagi pria sekelas Russell Maxwell.

Seharusnya Josephine menilai dirinya sendiri dulu sebelum jatuh cinta. Dan setelah jatuh cinta, ia bahkan tak bisa membuat Russell menatapnya padahal mereka menghabiskan begitu banyak waktu bersama.

Menghela napasnya kasar, Josephine meletakkan sisir lalu menutup keras majalah yang tadi dibacanya. Sudah cukup harus melihat pria itu selalu menggandeng wanita-wanita berbeda. Josephine tak perlu menyiksa dirinya dengan membaca artikel busuk itu. Hanya spekulasi. Tak mungkin Russell melamar Poppy Lewis. Sumber berita itu tidak jelas, hanya mencari-cari sensasi. Sejak dulu, kehidupan cinta Russell Maxwell memang mengundang banyak perhatian. Entah sudah berapa kali dia dikabarkan akan segera menikah. Kali ini juga sama. Josephine juga tak perlu menyiksa diri dengan memandang foto pria itu yang tengah merangkul mesra Poppy Lewis. Anggap saja itu tipuan kamera.

Jatuh cinta diam-diam seperti ini sangatlah menyiksa. Jika saja bisa, ia ingin menghapus semua perasaan yang menyiksa itu. Daripada terus memikirkan pria yang takkan bisa dimilikinya, lebih baik ia menghilangkan semua rasa yang tumbuh di hatinya. Tapi nyatanya tak segampang itu.

Daripada terus mengasihani diri, bukankah Josephine lebih baik berbuat sesuatu? Ucapan Kimberly melayang-layang di benaknya.

Ia punya dua pilihan : menyerah seperti pengecut atau berjuang sampai akhir. Josephine bisa memilih berhenti dari pekerjaannya dan mengakui kekalahannya atau ia bisa mencoba merayu pria itu. Bahkan jika Josephine hanya bisa memiliki pria itu satu malam, ia tahu ia akan memiliki sesuatu untuk dikenang.

Tapi mungkinkah? Wanita pendiam dan pemalu seperti dirinya apakah akan memiliki keberanian untuk mengutarakan apa yang diinginkannya?

Tapi berusaha jauh lebih baik dari hanya sekadar duduk di sudut dan berharap tanpa kepastian.

Josephine mencintai bosnya, bukan?

Sleeping with Her BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang