Bab 3

12.6K 1.2K 37
                                    

Happy reading ya, vote dan komen yang banyak. Semoga sukaa.

Luv,
Carmen

__________________________________________

Josephine memasukkan kunci ke lubang pintu dan menghela tubuhnya yang lelah ke dalam apartemen mungilnya. Apartemen itu hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur kecil dan ruang tamu yang sangat mungil, tapi memang hanya seperti itulah apartemen yang mampu dibayarnya dengan gaji yang ia terima. Tapi Josephine memang bukan tipe yang suka berfoya ataupun menjalani gaya hidup di luar kemampuannya. Ia tipe sederhana dan tidak menyukai kerumitan. Josephine juga tidak mau terlibat hutang, bahkan ia tak punya kartu kredit. Ia sudah memiliki segala yang diinginkannya dan itu sudah cukup. Dan apartemennya memang mungil, tapi itu miliknya sendiri yang ia cicil pelan-pelan dan tempat itu walau kecil adalah hasil desain Josephine. Ia mendekorasi tempat itu sesuai seleranya dan merasa nyaman dengan kehangatan yang ditawarkan tempat tinggalnya itu.

Begitu masuk, Josephine meletakkan kunci dan dompet ke meja kecil di dekat lorong masuk lalu berderap ke kamar tidurnya untuk berganti pakaian lalu mandi.

Ia baru saja menyelesaikan makan malamnya ketika ponselnya berbunyi. Agak malas-malasan, Josephine mengangkat panggilan dari sahabat satu-satunya.

"Ya ampun, ke mana saja dirimu, Josie?" Suara Kimberly langsung memenuhi telinga Josephine, kencang dan menuntut. "Aku mengirim pesan padamu beberapa kali."

"Bukannya aku sudah bilang, ada masalah di kantor dan aku harus bekerja."

"Hah? Sampai malam begini? Josie... ini Hari Minggu. Tidakkah menurutmu, bosmu itu mengambil keuntungan darimu?"

Josephine memutar bola matanya mendengar nada sinis sahabatnya itu.

"Kim, aku bekerja padanya. Tentu saja aku tidak bisa menolak jika ada masalah urgent yang membutuhkan penyelesaian secepatnya."

Kimberly mendengus dari seberang. "Well, masalahnya, Josie, itu bukan scope pekerjaanmu."

Ya, Josephine juga tahu itu. Tapi Russell membutuhkannya, bagaimana mungkin Josephine bisa menolak.

"Aku sekretarisnya, Kim."

"Yeay, tapi aku yakin dedikasimu lebih dari sekadar itu. Kau akan melakukan apa saja untuk pria pujaanmu itu, iya kan?"

Di dunia ini, hanya Kimberly satu-satunya orang yang tahu tentang perasaannya pada Russell Maxwell.

"Kim!"

"Oke, oke, terserah padamu saja, kalau kau bahagia seperti ini. Tapi sampai kapan kau mau diabaikan seperti itu? Dia bahkan tak menganggapmu manusia."

"Dia tidak seperti itu, oke?!" bantah Josephine. "You are mean."

"Of course i am. Aku benci melihatmu seperti sekarang ini. Oke katakan padaku, jika dia benar-benar peduli padamu, menghargaimu sebagai partner kerja, bahkan hanya sebatas sebagai sekretarisnya, katakan apa dia mengingat ulang tahunmu?"

"Apakah itu perlu?" Josephine balik bertanya.

"Usiamu?"

"Apa hubungannya?!" Josephine nyaris memekik. Kimberly sungguh tak masuk akal.

"Apa dia tahu berapa lama kau bekerja padanya? Di mana kau tinggal? Pernahkan dia memberimu kartu ucapan selamat natal atau bertanya kabarmu setelah kau pulang dari cuti libur?"

"Apakah itu perlu? Kau berlebihan, Kim."

"Tidak, Josie. Aku hanya ingin menyadarkanmu bahwa pria itu menganggapmu tidak lebih sebagai properti perusahaan. Apa kau akan terus membiarkannya seperti itu?"

"Memangnya apa yang bisa kulakukan?!" Kali ini, Josephine mulai marah. Ada apa dengan Kimberly  malam ini. "Kau mulai bersikap menyebalkan, Kim. Aku akan memutus telepon," ancamnya kemudian.

"Kau harus berhenti bersikap menyedihkan seperti itu, Josie."

Kata-kata itu terdengar seperti teguran, juga sindiran dan sukses melecut emosi Josephine. Ia lelah setelah bekerja keras seharian, haruskah Kimberly membuatnya lebih kesal? Ia tahu ia memang menyedihkan, tapi apa yang bisa dilakukannya, tak mungkin memaksa Russell untuk jatuh cinta padanya.

"Sialan kau, Kim! Bisa-bisanya kau berkata begitu. Padahal kau tahu bagaimana perasaannku."

Saat berbicara lagi, Kimberly terdengar agak menyesal. "Justru itu, Josie. Justru karena aku menyayangimu, aku ingin kau bisa menghadapi kenyataan. Kau tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kau hanya punya dua pilihan, berhenti bekerja dan melupakan pria itu atau mengejarnya hingga dia jatuh dalam pelukanmu."

Saat Josephine berbaring di ranjang malam itu, ia masih memikirkan ucapan sahabatnya tersebut. Mudah saja berkata seperti itu, tapi memangnya semudah itu menerapkan kata-kata itu dalam perbuatan? Josephine bukan Kimberly. Ia tak akan bisa. Jika ia adalah Kimberly, Josephine takkan menemui kesulitan dalam hal cinta.

Memang ajaib, bagaimana mereka berdua bisa bersahabat baik sementara sifat mereka bertolak belakang. Bahkan ketika mereka terpisah saat kuliah, persahabatan mereka tak pernah pudar. Kimberly mengejar mimpinya menjadi make up artist. Josephine hanya mengikuti arahan orangtuanya di jurusan manajemen. Saat lulus dan Josephine ingin mengadu nasib di bidang sales, saat ia pontang panting mencari pekerjaan, Kimberly sudah menuai sukses. Hidup Kimberly secerah dan seberani kepribadiannya, terkadang Josephine berharap ia bisa meniru hal itu dari sahabatnya.

Well, ia tahu sahabatnya benar. Josephine tak mungkin seperti ini terus. Hanya diam-diam menatap pria itu dan memupuk cintanya yang tak terbalas. Tapi jika ia jujur, Josephine takut Russell akan marah besar dan memecatnya. Dengan begitu, ia bahkan akan kehilangan kesempatan memandang pria itu dari dekat. Tapi sampai kapan juga ia akan terus bertahan dengan cinta diam-diamnya dan menyaksikan pria itu bersama wanita-wanita lain?

Tapi apa yang bisa Josephine lakukan?

Sleeping with Her BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang