Dua ☁️ Orientasi Subjektif

962 219 71
                                    

Dua hari berlalu cepat, persiapan sekolah dan lainnya sudah beres—tinggal otakku saja yang belum beres

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari berlalu cepat, persiapan sekolah dan lainnya sudah beres—tinggal otakku saja yang belum beres. Kuseberangi lapangan depan SMA, melesat di antara puluhan putih-abu-abu lain dengan santai.

Langit sudah mendung, angin berembus cepat mengguncang pohon hingga dedaunannya rontok. Dua hari terakhir kugunakan untuk menghafal nama teman sekelas. Aku sudah pintar secara akademik, yang kupelajari saat ini adalah bagaimana cara bersosialisasi.

Kelas masih legang. Begitu kulirik jam dinding, jarum panjangnya masih bertengger di angka dua. Kukeluarkan setumpuk buku, tugas-tugas selama libur semesteran. Sekali lagi kupastikan tidak ada yang tertinggal. Semuanya lengkap, seperti biasa.

Berhubung hanya aku sendirian di kelas, akan kuperkenalkan teman-teman sekelas yang melewati pintu agar kalian juga mengenalnya—bukti bahwa begadangku tidak sia-sia. Sejujurnya, gampang saja menghafalkan anak sekelas. Karena jumlah kami di kelas akselerasi hanya sembilan orang.

Seperempat jam menunggu seraya mencoret-coret buku gambar mini, sosok tinggi jangkung dengan rambut bergelombang tergerai manis menarik daun pintu. Gadis itu tersenyum padaku, melambai tangan pelan sebelum duduk dua bangku di belakangku. Namanya Riantana—semoga aku tidak salah melafal—dari X IPA 4. Sebelumnya dia bersekolah di luar pulau, kalau dilihat dari fisiknya, Rina anak keturunan murni suku Riantana. Elok nian parasnya.

Dia salah satu dari tiga perempuan di kelas, sering disebut pawang cuaca karena berasal dari Papua dan diduga memiliki kekuatan magis seperti anime. Di satu hari yang gerimis itu, kami menantangnya pending hujan supaya acara OSIS terlaksana dan kelas aksel libur belajar sehari. Ajaib! Begitu Rina menyibakkan tangannya di atas kepala, angin kencang berembus cepat dan mengusir awan gelap menjauh. Siang menjadi panas dan kami ternganga melihat apa yang gadis itu lakukan.

"Tumben berangkat awal?" tanyanya, melakukan hal yang sama denganku, memeriksa semua pekerjaan rumahnya.

Aduh, aku harus jawab gimana? Kalau diam saja, nanti dikira cuek. Kalau kujawab, "Aku 'kan anak rajin." nanti dia ilfil?!

Aku menoleh ke belakang, menatapnya dengan senyum canggung. "Iya, rumahku beres mau banting, aku kabur." Aduh! Kok gitu?! Kemampuan sosial sialan! "Aku kabur dari beres-beres rumah biar nggak dibanting mama."

Kupikir reaksinya hanya sebatas, Oh atau Oke. Namun, dia tertawa pelan, meninggalkan mejanya dan mengambil duduk di seberangku dengan cepat. "Jadi, rumah siapa yang mau dibanting?"

Dia tidak benar-benar mampu mengendalikan hujan, ini bukan cerita fantasi yang seperti itu, tenang saja. Beruntung, Rina tidak bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Dengan cepat matanya melirik sketsaku yang belum rampung dan berkomentar sendiri.

Abidine adalah manusia selanjutnya yang melewati pintu, tepat ketika Rina hendak menyambar buku gambarku lebih dekat—batal karena refleksku lebih cepat. Berbeda dengan kami, cowok satu itu tampak kelimpungan membongkar tas di bangku sebelahku, lantas berseru, "Tugas geografi yang mana?!"

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang