Sembilan ☁️ Hubungan Darah

343 135 22
                                    

Kami meninggalkan Yoga dengan tenang, Dala kembali menarik tanganku setelah anak yang membogemnya tadi kembali ke barisan dan membubarkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami meninggalkan Yoga dengan tenang, Dala kembali menarik tanganku setelah anak yang membogemnya tadi kembali ke barisan dan membubarkan diri. Dala masih diam saja, bahkan setelah kami menyeberang dan tiba di main hall mall.

"Kok tiba-tiba?" tanyaku.

Dala mengangkat alis, kemudian membuang muka dan mengusap tengkuknya. "Nggak papa sih ...."

Tidak, tidak bisa seperti itu. Pasti dia memprovokasi Yoga agar berhenti dan menurut padanya. "Apa yang kau lakukan? Tidak, apa yang kau bisikkan?" Aku tidak percaya orang pendiam sepertinya mampu memprovokasi lawan dengan sekali bisikan.

Wajahnya culun dengan poni nyaris menyentuh alis, tubuhnya juga tak lebih besar dari Yoga bahkan Abidine yang ceking. Suaranya lebih lembut dari laki-laki lain, matanya besar seakan tak mampu membuat wajah sinis. Yah, penampilan memang tidak bisa dijadikan tolak ukur kekuatan seseorang.

"Ada yang melapor. Meski kau belum mengirim rekamanmu ke mana-mana, ada orang lain yang lebih cepat melapor tanpa tahu sikon." Matanya kembali menatap lurus.

Kami menaiki eskalator, berbelok sana-sini untuk mencapai toko buku. Dala masih menggandeng tanganku. Alih-alih mesra, genggamannya lebih seperti anak kecil mencekik leher kucing.

"Sebelum polisi atau apalah itu datang, kita harus cepet-cepet pergi," sambungnya. "Makanya kubilang, mending kita pura-pura baikan aja, baku hantamnya disambung lain waktu."

Aku menepuk jidat keras-keras. Bodo amat dilihat orang banyak. Apa yang terjadi pada anak laki-laki zaman sekarang?! Mana ada begituan, 'kan? Zaman edan!

Peduli amat, asalkan hari ini aku puas menyikut hidung anak orang sampai berdarah dan dapat modul, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dala juga tampak tak keberatan menemaniku sampai ba'da magrib. Dia menikmati jalan-jalan di mall kota orang. Hitung-hitung aku jadi guide tour bagi turis ibu kota—ingat, Dala dari Jakarta.

Ada hal baru yang kutahu dari Candala. Dia atlet taekwondo sebab pemimpin Rumah Anak-nya adalah Sabeum¹. Dia bercerita padaku tentang itu secara sukarela. Namun, ketimbang bela diri, Dala lebih senang seni rupa dan musik.

Aku pulang sebelum isya. Dala tak bisa mengantarku sampai rumah karena rumahnya dan rumah ayah bertolak arah. Aku harus mengambil beberapa barang di sana sebelum pulang ke rumah lama ibu.

Esoknya aku bangun pagi-pagi sekali untuk ngacir ke sekolah sebelum ibu bangun. Meski lebih tepatnya aku lupa belajar materi matematika wajib untuk ulangan harian jam ketiga nanti. Jam belajarku di rumah jadi berantakan semenjak Dala mengajakku main sore-sore.

Tak butuh waktu lama untukku mencapai sekolah. Rumah lama ibu lebih dekat dari sekolah ketimbang rumah ayah. Seperti dugaanku, kelas masih sepi, bahkan gerbang sekolah barusan dibuka—rajin memang diriku ini.

Langsung kuhambur barang-barang dari tas ke meja, mengeluarkan buku paket dan catatan. Bisa berbahaya kalau nilaiku kali ini tidak tuntas. Minggu depan kami akan kelas sebelas, berati minggu-minggu ini akan lebih banyak praktek dan ulangan harian.

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang