Dua Puluh Tujuh 🌫️Bantu Aku

233 86 24
                                    

Aku kembali ke sekolah dengan penampilan yang berbeda dari tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali ke sekolah dengan penampilan yang berbeda dari tahun lalu. Minggu kedua bulan Januari menyambutku dengan hangat senyum mentari. Tidak seperti halaman pertama jurnal ini, belakangan hujan tidak mampir sesering dulu.

Kini, potongan rambutku lebih mencolok. Dengan bagian belakang under cut, seperti laki-laki, dan bagian depannya dibiarkan panjang se-bahu sebagai penanda aku masih perempuan. Segalanya terasa jauh lebih dingin di tengkukku. Padahal, peraturan sekolah jelas memaparkan, bahwa siswi dilarang memotong rambut hingga tengkuknya terekspos, tetapi mungkin sekolah memberi pengecualian untukku setelah kejadian itu.

Tidak ada yang berani menyapaku seperti dulu-walaupun memang jarang, setidaknya dulu ada satu dua guru yang memanggil namaku jika berjalan melewati koridor ruang guru. Sorot mata anak kelas sebelas dan dua belas yang mengenal siapa aku dan desas-desus yang terjadi langsung berubah. Mereka seolah refleks membuka jalan untukku, tanpa berani bertukar kontak mata. Baru kali ini, aku merasa lebih dikucilkan dari sebelumnya. Tatapan mereka berubah arti. Dari yang semula menaruh dendam kusumat pada anak akselarasi, kini entah bertambah rasa prihatin atau kesal lantaran mengira aku hanya mencari perhatian.

Kelas nyaris kosong, kecuali tiga manusia yang sudah menungguku datang. Taufan akhirnya benar-benar tersenyum tulus ketika melihatku berjalan dan meletakkan tas pada salah satu di antara tujuh belas bangku kosong lainnya.

"Kau nggak tau seberapa kesepiannya aku piket sendirian waktu dua tuyul ini ngacir ke rumah sakit, bolos piket dengan alasan menemanimu," keluh Taufan, melirik tajam pada dua anak yang memasang raut tak bersalah.

Kubalas senyumnya, dan duduk seperti biasa. Hal pertama yang kupikirkan setelahnya adalah Candala. Anak itu benar-benar tidak masuk sekolah, tak tampak sepagian ini, dan absennya juga kosong sejak awal tahun.

Setelah pembicaraan terakhir dengan Candala, aku tak lagi ingat. Begitu terbangun, kudapati diriku sendiri bersimbah air mata dan keringat dingin di dipan. Jamal tepat di sisiku, menundukkan kepalanya di atas telapak tangan kiriku.

Apa yang terjadi semalam terasa seperti mimpi. Tolong katakan padaku bahwa itu tidaklah nyata dan Dala masih ada di sini, atau minimal di rumahnya pun tak masalah.

Kusingsing pagi itu dengan menangis bersama hujan. Tangan kananku yang bebas terangkat, rebah menyilang di atas kedua mata, menutupi rinai yang kian deras dari mataku. Bahuku sesenggukan, masih ingin menyangkal kalau Candala sungguhan hilang dan enggan bertemu lagi.

Isakku mampu membangunkan Jamal hingga anaknya mendongak dan mengusap keningku singkat. "Kau kenapa, Bung?"

"Mana Candala?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. "Kau di sini dari semalam?" Kutepikan tangannya dan beranjak duduk. Pening di kepala langsung terasa seketika. Tubuhku limbung sejenak, sebelum mampu menahan diri dengan tangan kanan.

Jamal cepat menangkap tubuhku, membantuku duduk dengan benar, kemudian menonyor keningku kesal. "Kau kenapa, sih? Perasaan dari kemarin-kemarin Dala mulu." Raut wajahnya tampak tak senang, menatapku sinis. "Aku di sini sejak kau pingsan sendirian di taman belakang. Sekarang jelasin kenapa kau ke sana sendirian, tengah malem pula. Sinting!"

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang