Dua Puluh Delapan (I) 🌫️ Menyusuri Jejakmu

203 86 28
                                    

Chapter ini dibagi jadi dua karena terlalu panjang '-')/

Beberapa chapter menuju ending✨
Happy reading✨

"Kalau kau mencariku, aku akan selalu ada di tempat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau kau mencariku, aku akan selalu ada di tempat itu."

Kalimatnya terngiang-ngiang di kepalaku. Suasana saat kami dalam masa diskorsing karena terlibat dalam perkelahian Yoga dan Jamal, hangat matahari sore waktu aku memandanginya dari samping di ujung penyebrangan. Semuanya mencuat di kepalaku saat motor yang Abidine kendarai membawaku melaju cepat di antara kendaraan lainnya.

Kalau Candala mengatakan demikian, artinya dia tahu hal ini akan terjadi. Jika saja ayahku bukan seorang mata-mata, aku jelas akan langsung menandai beberapa tempat yang biasa Candala kunjungi. Namun, kali ini kondisinya berbeda. Ada banyak yang harus kuluruskan. Dan satu hal yang kuketahui jelas;

Kasus David dan Candala punya kaitan yang erat.

Ini bukan sebuah kebetulan, di mana Dala mendadak hilang dan Ayahku mengakui jati dirinya sebagai mata-mata. Ditambah, saat di rumah sakit Ayah pernah bertanya di manakah anak itu. Artinya, Ayah punya urusan dengan Candala. Satu-satunya bukti paling kuat bahwa mereka berdua berkaitan, adalah rekam jejak pada flashdisk Candala.

"Nadir, pegangan!" seru Abi saat menyadari peganganku pada bahunya melonggar.

Namun, aku tak bisa menyerahkan kasus Candala pada ayahku. Aku tahu, sebenarnya Ayah, Jamal, Abidine, bahkan semua sudah tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tidak ingin aku mengetahuinya. Itulah kenapa, surat pada botol kaca yang sering Candala tulis tidak akan kuserahkan pada Ayah.

"Tapi, untuk menemukannya, aku ingin kau berusaha."

Aku akan mencarinya sendiri.

Abidine memacu motornya lebih cepat, menyalip beberapa kendaraan dengan gesit. Pada akhirnya, anak ini terpaksa tahu. Tentang Jamal, aku, dan Ayah. Setelah mendapat sepenggal kalimat tadi, aku memutuskan menemui Ayah. Sebenci apapun aku pada Ibu, sungguh aku masih mengakuinya sebagai orang tuaku sendiri. Anak mana yang akan diam ketika orang tuanya dibunuh?

Lima belas menit berpacu dengan waktu, Abi memarkirkan motornya rapi, lantas menyuruhku turun di depan sebuah gedung besar. Apa ini tempatnya?

Sebuah warung kebab?

"Di sini, kok, Nad." Abidine melepaskan helmnya, kemudian ikut menatap heran gedung dua lantai itu sambil bertanya-tanya dalam hati. "Masuk aja dulu." Dia mengambil langkah pertama, kemudian aku mengekor di belakangnya.

Saat Abi hendak membuka pintu, Ayah lebih dulu keluar dan menangkap basah kami yang masih memakai seragam sekolah. "Kok ada anak ini?" tanyanya tanpa berkedip, lantas menyingkap helai rambutnya yang mulai kusut di dahi. "Mau kebab?" Dua alis Ayah terangkat, pun ibu jarinya menunjuk papan menu di dalam.

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang