Dua Puluh Delapan (II) 🌫️ Dokumen Negara

204 97 29
                                    

Diam-diam aku sering menyelinap sendirian, menyusuri jejak-jejak yang pernah kami buat setahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diam-diam aku sering menyelinap sendirian, menyusuri jejak-jejak yang pernah kami buat setahun lalu. Kabur dari tatapan elang Jamal dan rasa penasaran Abidine. Dua anak itu mendadak menjadi pengganggu, seolah membatasi semua gerakanku. Aku tidak suka. Seperti sekarang misalnya, seragamku baunya mirip kondisi di sekitar, sisa-sisa metabolisme tubuh, produk dari proses ekspirasi usus besar. Tidak ada yang tahu mengenai ini.

Karena sebelum mereka memasukkan semua barang di mejanya sore itu, aku pergi lebih dulu. Kali ini, akan kukumpulkan kelima botol itu sendirian, dan Jamal tidak akan tahu di mana aku berada kalau aku melepas baterai ponselku. Kuembuskan napasku yakin, kali ini harus ketemu! Langkahku melaju cepat di sela-sela kerumunan, lenyap dari pandangan dua laki-laki yang mendadak posesif terhadapku.

Ini adalah tempat pertama yang Candala kunjungi untuk melempar botol, dan semoga saja benda itu masih ada di tempat yang sama; kandang sapi. Anak itu memang bodoh kalau mengajak perempuan pergi kencan, tetapi aku lebih bodoh lagi sebab masih mau mengejarnya yang sudah meninggalkanku berbulan-bulan tanpa kabar.

Kutenteng tasku tinggi-tinggi sembari menyincing rok span beserta sepatu berisi kaus kaki. Aku tahu seharusnya aku belajar menjelang ujian sekolah terakhir Februari nanti, tetapi aku tidak mau belajar diselimuti rasa penasaran. Kuputuskan menyelesaikan semuanya, bukan karena Candala lagi, tetapi agar hatiku tenang.

"Cari apa, Nduk?"

Aku menoleh, memasang senyum iklan pasta gigi pada bapak tua itu. "Bapak ada lihat botol?" tanyaku sopan, berjinjit-jinjit menghampirinya. Topi caping yang dipakai bapak itu menutupi hampir separuh mata hingga dahinya.

Bapak tua itu berkacak pinggang, menancapkan sabitnya ke tanah. "Botol apa? Banyak botol di sana," tunjuknya ke salah satu gubuk berisi tumpukan rumput ikat. Ujung matanya mendapati tasku, kemudian mengernyit. "Nggak ada botol minum di sini, Nduk. Cuma botol kecap sama air mineral-"

"Ada botol kaca, Pak?"

Tanpa bicara, beliau membawaku langsung ke sana, meninggalkan sapi-sapi yang melengos sebal batal diberi rumput. "Jadi ini punyamu?" tanyanya curiga, membongkar botol-botol dalam kardus lapuk besar. Bunyi kelontangan menyambut kami seperti suasana pasar. "Lain kali jangan buang sampah sembarangan!" Nada bicaranya berubah kesal padaku. Beberapa menit mencari, bapak tua itu mengangkat sebuah botol kecil kecokelatan sambil merengut, memberinya padaku untuk digenggam. "Sapiku sembelit gara-gara botol ini!"

Akhirnya! Senyumku terbit secerah matahari pagi. Kupikir akan jauh lebih sulit dari ini-tunggu.

"SEMBELIT?!"

:.:.:

Kumasukkan semua pakaianku ke dalam mesin cuci dan membersihkannya detik itu juga setelah masuk ke pekarangan rumah ibu dan menyiram kaki hingga betisku dengan selang air di halaman depan. Hari sudah gelap saat aku kembali. Sepanjang perjalanan, tidak ada orang yang mampu mengalihkan pandangannya dariku-iya, sebab aku bau, kucel, kotor, dan dengan bangganya cengar-cengir sendiri melihat botol kaca berbalut cokelat karamel. Tak kuindahkan semuanya. Lagi pula, tidak ada yang akan ingat siapa diriku.

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang