Dua Puluh Lima (III) 🌫️ Tirai Hujan

202 90 38
                                    

Chapter kali ini banyak mengandung kekerasan, bullyan, dan kata-kata kasar. Pembaca yang Budiman dan Budiwoman, harap dewasa dalam menyikapinya ✨🛐

——————————

"Kalau aku lenyap, apa yang kau lakukan?"

"Kalau aku lenyap, apa yang kau lakukan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekali lagi, aku salah.

"Happy birthday, Nadir!" Cengkeraman tangannya semakin kuat di rambutku. "Berapa usiamu tahun ini, hm? Biar kutebak, sweet seventeen?"

Aku dipaksa mendongak kala telapak tangan lain menangkup rahangku. Bibirnya semerah buah ceri kedaluwarsa, menyungging senyum hingga tampak deretan pagar yang tertempel pada dinding kuning asimetris.

Dalam diam kurasakan sesuatu mengalir di punggung, terus sampai bagian bawah pinggang yang tertahan ubin. Aroma amonia menyapaku dalam perasaan jijik bercampur marah.

"Gimana? Anget?" Dila mengelus kepala belakangku dengan botol kosong yang isinya sudah lenyap, merembes di rok kelabu dan kemeja putih yang kukenakan. "Kayaknya kau kepanasan. Ada sebotol lagi, mau?" tawarnya lantas terbahak bersama si Behel.

Tangan dan kakiku diikat, memaksa tubuhku sedikit menunduk dengan kaki bersimpuh, semetara kedua tangan di belakang pinggang. Sial, kali ini ikatannya lebih kuat. Siapa, sih, yang mengajari mereka tali temali?!

Dadaku naik turun emosi. Sekuat apapun aku meronta, mereka hanya akan menamparku lagi. Kabur dengan cara lompat-lompat seperti pocong juga tidak ada gunanya. Mereka bertiga. Mulutku juga dilakban, tak ada untungnya jejeritan.

"Biar kubantu," ucap Rachel, telapak tangannya terulur, meminta sesuatu pada rekannya. "Kau kepanasan, 'kan?" Kepalanya mendekat, menarik rambutku lebih ke atas.

Pandanganku berkabut saat itu, tertutup air mata samar dan perih keringat dari pelipis. Saat kukedip-kedipkan mata berkali-kali, barulah aku sadar di genggamannya sudah ada sebuah gunting.

Jangan ... jangan rambut panjangku!

Kutarik kepalaku, meronta dalam cekalan Rachel. Tidak ada yang boleh memotong rambutku selain ibu!

"DIAM!" bentaknya menempeleng kepalaku dengan gagang gunting. "Cewek kayak kau udah sepantesnya dapet kayak gini, bajingan!"

Aku tetap meronta, menarik-narik kepala sampai kurasakan beberapa helai rambutku rontok di tangan kakak kelas sialan itu. Keringatku bercucuran, juga derai yang turun tanpa bisa kutahan lagi. Hingga lakban di mulutku terasa longgar dan ketika kurasakan udara segar mengalir di sela pengap bibir, aku menjerit.

Bahuku maju, menjatuhkan diri secara paksa dan berguling. Rachel hilang kendali akan rambutku, juga dua temannya yang bingung harus menangkap anggota tubuhku yang mana.

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang