Enam Belas ☁️ Perwakilan Kelas

256 104 7
                                    

Sepanjang hari menuju Senin, Candala tak pernah absen dari kamarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang hari menuju Senin, Candala tak pernah absen dari kamarku. Entah hanya untuk mainan gitar sebentar, mengajakku jalan-jalan, membawa sketchbook-nya, atau numpang makan siang karena bapak dan ibu RT sedang bekerja. Kami kembali masuk sekolah hari ini, dan tak satu pun dari anak kelas akselarasi yang mau membicarakan tentang hukuman skorsing kami bertiga.

Hari pertama di kelas sebelas, aku langsung salah masuk ruangan. Aku duduk seperti orang bodoh di kelas yang biasanya, sendirian, sampai jam masuk. Ketika curiga sebab tak ada guru atau teman-temanku yang masuk, aku menelpon Bila.

"Kelas kita di lantai atas, Nad! Astaga, kita udah kelas sebelas!" pekiknya dari seberang sana, disusul deru napasnya membentur mikrofon. Kuduga dia berderap turun dan menjemputku.

Gadis itu menepuk dahi kala mendapatiku masih duduk di bangku dengan tenang, lantas menggeretku ke atas dengan cepat. "Untung Bu Nga belum masuk. Kau ini nggak baca grup kelas atau bagaimana?!"

Aku menggeleng. Sudah dua hari aku tak mengindahkan grup itu. Kupikir tidak ada pemberitahuan khusus, jadi tak ada gunanya membuka grup dengan notifikasi lima ribu lebih. Sepanjang lorong ke kelas baru, Bila memberitahuku banyak hal, tentang jadwal baru, wali kelas yang tidak berubah, dan beberapa peraturan tambahan khusus anak aksel yang tak lagi boleh mendapat nilai delapan puluh sembilan ke bawah.

Kelas kami lebih besar, dengan bentuk yang lebih normal—tidak seperti tadi yang memanjang ke belakang. Sebab belum ditentukan posisi duduk, Bila mengklaimku sebagai teman semeja dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek Candala dan Abidine yang pernah menjadi partner semejaku.

Pelajaran dimulai, dan tampaknya aku masih belum beradaptasi dengan beberapa hal baru. Contohnya saat ini diriku bertanya-tanya ke mana Pak Faruq di jam pelajarannya. Padahal tadi Bila sudah bilang kalau beliau hanya mengajar kelas sepuluh. Untuk kelas sebelas, Bu Ngajirin yang mengambil alih mapel fisika.

Perlu sekiranya dua kali istirahat untukku menyadari kalau kelas kami dekat dengan kelas Rachel. Waktu itu aku tidak sengaja bertemu gadis ganjen tersebut di kantin bersama Bila. Pas mau masuk ke kelas ... lho kok kami mengikuti punggungnya? Untung Rachel tidak sadar atau menoleh.

Seharian ini, sungguh pikiranku melayang ke mana-mana. Aku tidak fokus dengan pelajaran, teman-teman kelas, atau guru yang memanggilku. Jamal berkali-kali datang ke mejaku untuk meminta maaf empat mata sebab karenanya aku kena imbas skors.

"Gapapa," kataku. Lagipula, selama skors itu aku banyak melakukan hal selain belajar. Menggambar misalnya, dan aku juga mendapatkan uang yang tak kusangka tidak sedikit untuk sekadar jajan.

Hari Minggu kemarin Candala meninggalkanku di atap sekolah sendirian. Dia menghilang entah ke mana sampai magrib dan kembali lagi dengan cengiran. "Maap, kelupaan bawa anak cewek." Kalau anak itu pulang, barulah aku main ke rumah Abidine untuk menyalin catatan dari sekolah.

Nah, begitulah caraku menghabiskan masa liburan lima hari yang panjang. Otakku mungkin terbawa suasana santai, makanya aku tidak bisa fokus.

Menjadi murid akselarasi bukan berarti kau bisa berleha-leha karena masa depan sudah terjamin setahun lebih cepat ketimbang murid reguler. Apa aku tidak pernah bercerita tentang bagaimana panasnya organ dalam tempurung kepala kalau ada ulangan dadakan? Nah, kuberi tahu kau sekarang tentang serba-serbi kelas kami, biar waktu dewasa dan membuka jurnal ini, aku ingat pernah separah itu membanting jidat.

CANDALA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang