Maissy membuka matanya perlahan dan mendapati keadaan sekitar terasa asing namun ia bisa memahami tempat yang sedang di singgahinya saat ini. Tak lain dan tak bukan adalah rumah sakit. Rumah sakit selalu meninggalkan aroma khas yakni bau obat-obatan yang melekat kuat di ingatan siapa pun. Kepalanya tiba-tiba di hantam gelombang sakit─entah karena terlalu lama tidur atau kerena sebab yang lain─dia mencoba mengingat-ingat hal apa yang bisa membuatnya terkapar di brankar rumah sakit.
Matanya menyorot sekeliling dan tidak menjumpai siapapun di sana. Lagipula apa yang dia harapkan. Suami tidak punya, keluarga jauh di luar kota, teman pun tak ada kabarnya. Sebelah tangannya memijat pelipis─karena tak tahan dengan pusing yang di deritanya─sambil isi kepalanya menerawang ingatan kali terakhir sebelum ia tak berdaya.
Gelombang ingatan itu menghantamnya. Hendri. Ia ingat kali terakhir sebelum pinsan ia melihat kepala Hendri di hantam gelas oleh pelaku pencurian. Ia juga ingat darah mengucur melewati wajah tampan yang selalu di elu-elukan ibu-ibu komplek Bina Warga. Dia shock dan kesadarannya kalah dengan memori buruk yang terpias di ingatannya. Dahulu dia juga menemukan darah mengalir di sela-sela pahanya.
Rasa panik membuat Maissy menelisik sekitarnya guna mencari keberadaan gawainya. Dia harus memastikan terlebih dahulu bahwa Hendri tidak mengalami luka yang serius. Karena keterbatasan tenaga alhasil dia hanya bisa mengandalkan indra penglihatannya untuk menemukan benda tersebut. Tapi lama kemudian dia menyadari bahwa tidak ada benda pribadi apapun yang ada di ruangan ini.
Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sosok heroik yang sudah sangat berjasa menyelamatkan nyawanya dari aksi pencurian. Dia masih bisa berdiri gagah seolah bekas luka yang ada di kepalanya bukanlah hal yang berarti. Walau bagian ubun-ubun di tempeli kassa tapi Hendri masih bisa memberikan senyum indah selebar matahari pagi. Berbanding terbalik dengan Maissy yang sudah siap menerbitkan kristal-kristal air mata. Maissy merasa bersalah. Tidak seharusnya ia menyebabkan kerugian pada Hendri yang notabene adalah orang asing. Andai saja ia bisa bertindak─bukan malah ketakutan─tentu tidak akan ada korban dalam insiden ini.
"Lho Mai, kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya Hendri yang cemas karena melihat Maissy tiba-tiba saja menangis.
Maissy menggeleng lemah namun air mata tak berhenti keluar. "mas... mas... aku... maaf... aku minta maaf." Ucap Maissy terbata-bata.
"Enggak... nggak... kamu nggak salah. Ini namanya musibah Mai. Hei, lihat aku. Aku nggak apa-apa Mai. Nggak sakit sama sekali." Ujar Hendri meyakinkan Maissy.
Maissy menatap mata Hendri dalam-dalam dan mencoba menggali apakah ada reaksi kesakitan dalam mata Hendri, tapi tidak dia temukan kebohongan atau sandiwara apapun dalam mata itu. "maaf mas." Ucapnya sekali lagi untuk melegakan hatinya dari rasa bersalah.
"Iya, saya maafkan. Lagian kamu lupa sama yang pernah saya bilang? Saya ini anak lapangan, sudah jelas dong kalau tubuh saya tahan banting. Eh... tapi hati saya cepat rapuh lho Mai." Goda Hendri yang akhirnya malah membuat tangis Maissy berhenti dan berganti dengan seulas senyum. Kali pertama Maissy tersenyum setelah membuka mata.
"Apaan sih mas."
"Terus kamu gimana? Ada yang sakit nggak?"
Maissy menggeleng, "nggak ada mas. Tadi Cuma pusing sedikit kayaknya kebanyakan tidur. Mas Hendri ada yang sakit kah? Dokternya bilang gimana?"
"Aku nggak apa-apa, Cuma luka dikit doang ini. Sudah di bersihin kok. Kamu gimana? Mungkin kamu nggak merasa luka fisik tapi psikis kamu mungkin kena Mai. Mau ku panggilin dokter saja?"
Maissy menggeleng lagi, "nggak usah mas nanti saja nunggu dokter visit."
"Oh... iya tadi kamu lagi nyari apa? Mungkin bisa ku bantu?" tanya Hendri penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna
ChickLitLakuna; la-ku-na (kata benda kedokteran dan fisiologi) lekukan kecil, rongga di antara sel-sel atau lapisan - KBBI Lacuna; lə-'kü-nə (noun) a blank space - Merriam Webster Tajuk Lakuna bagi penulis adalah sebuah ruang kosong dalam hati kita. Ketika...