chapter 1: Sovereign Montessori

5.4K 366 40
                                    


SMU SOVEREIGN MONTESSORI (SM), sebuah sekolah elit terkenal dipusat ibukota telah tampak ramai sejak pagi, seluruh staff disibukan dengan penerimaan murid tahun ajaran baru. Murid yang naik ke kelas 11 juga akan menerima pemberitahuan singkat tentang kelas konsentrasi, sedangkan siswa tahun akhir juga akan menerima penyuluhan singkat mengenai ujian akhir.

"Situ dong kak, foto dulu." Ucap Irene, seorang ibu-ibu yang masih terlihat anggun diusianya yang sudah kepala empat.

"Apa sih mii, malu ah, foto-foto mulu!" seorang anak perempuan 16 tahun yang baru akan masuk SMU sedikit cemberut, tapi sama sekali tidak mengganggu wajah cantiknya.

"Kakak Karin! Ih cepetaaan." Didorongnya anak perempuannya yang sedang manyun itu kedepan tulisan SMU SOVEREIGN MONTESSORI.

"Mamii... haus..." anak kecil usia enam tahun disebelahnya merengek.

"Yak cantik, puter dikit badannya, hm-mm, cantik..."

"Mamiiii..." rengek anak kecil tadi lagi.

"Idih, ini lagi bayi..." Irene menggeram gemas pada anak bungsunya.

"Aku bukan bayi!"

"Ya jangan kaya bayi dong, masa haus aja harus ngerengek?"

"Udahan yuk ah mi, masuk kelas aja." Karina buru-buru menggandeng adiknya, Kyle, "Yuk Le." Harusnya dengan nama Kyle yang cara bacanya adala Kæïl, ia dipanggil Kay, tapi Karina lebih senang memanggil dia Lele, iya, seperti nama ikan.

"Kak, haus..." Lele memegang tenggorokannya dan Karina otomatis mengambil bekal air minumnya dari tas lalu membukanya untuk si adik. Sedangkan mami Irene? Sibuk mendokumentasikan setiap gerak gerik anaknya.

Ia senang sekali memotret, memvideokan dan mengunggah semua hasilnya kesocial media yang ia buat sejak lama untuk Karina (sekarang juga penuh terisi Kyle) hingga followers social media tersebut mencapai angka diatas 150 ribu. Beberapa kali pula Irene menerima direct message soal permintaan endorsement dan tawaran anak-anaknya—terutama Karina—untuk jadi model produk mereka tapi tidak pernah diijinkan oleh suaminya, Suhendra Adiantama, yang sering Irene panggil papi Suho, ialah seorang pengusaha sukses dibidang ekspor-impor alat berat.

Karina masuk ke dalam kelas barunya, sedikit berbeda dengan SMP-nya di luar negeri, tapi bisa dibilang familiar karena masih satu yayasan Sovereign Montessori, setiap kelas hanya akan dihuni oleh paling banyak 20 siswa agar proses belajar lebih efektif, ada lima kelas disetiap angkatan, yang mana berarti tiap angkatan hanya ada kurang lebih seratus siswa.

Kelas Karina sendiri berisi 16 siswa-siswi, ruangannya tidak terlalu besar dengan tatanan kursi melingkar, dibelakang ruang belajar ada ruang lagi yang berisi perpustakaan kecil dengan karpet dan beberapa sofa yang nyaman, disebelahnya ada ruang kecil yang hanya ada satu kursi, sepertinya itu ruang renungan.

Ruang renungan adalah ruang untuk siswa yang melakukan kesalahan, ia tidak hanya berdiam diri diruang itu namun ia akan diberi tugas sesuai dengan kesalahan atau kebijakan wali kelas.

Karina menoleh waktu ada seseorang duduk disebelahnya, "boleh duduk sini ya?" ucapnya.

"Boleh." Karina tersenyum, "gue Karina."

"Winter."

"Ih lucu amat namanya."

Winter senyum, "lahir di Belgia pas badai salju, say, ga ada lucu-lucunya pas itu kata nyokap... mau mati iya."

Karina tertawa.

"Eh? Mbak Tania?" Irene melongok ke arah belakang Winter.

"Irene!" mama Winter, Tania Mulja, tersenyum lebar saat melihat wajah familiar, "laaah ga nyangka kamu punya anak SMA, mana seumuran lagi!"

My Dream Universe [NCT Dream, Aespa, SM artist]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang