Mereka selalu membawaku saat hujan turun. Menemaniku di setiap keadaan dan bersenda gurau di dalam hangatnya peluk kasih sayang. Tapi hari itu, mereka pergi. Tanpa membawaku lagi ke tempat di mana mereka pulang untuk selamanya.
-Janu, 1 Desember 2020
P.s : Ayah, Ibu. Bahagia selalu ya di sana.
***
Tepat pada pukul 18:00 di hari Jumat, Kota Bogor. Kediaman rumah Pradipta dipenuhi dengan suasana belasungkawa. Di dalam sana, banyak orang berkumpul dan membacakan doa untuk mereka yang pergi. Dua orang yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat sore tadi. Kedua orang tersebut adalah Pradipta sendiri dan istrinya. Mereka pergi lebih dulu meninggalkan anak semata wayangnya, Januari Pradipta.
Pemuda berumur 8 tahun itu hanya bisa terdiam melihat kedua tubuh orang yang sangat dia sayangi sekarang telah terpejam dengan tubuh membeku juga pucat. Janu memang masih anak-anak, namun dia mengerti keadaan yang saat ini dialaminya tidak baik. Bahkan hampir membuatnya tidak menyangka akan terjadi.
"Janu, ikut tante, yuk. Ke kamar buat ganti baju kamu. Gak enak, lho, masa Janu pakai baju tidur kayak gini. Mau ya?" tanya seorang wanita yang ternyata adalah adik dari Ayahnya. Dengan lembut dia membawa anak itu ke lantai atas setelah mendapati anggukan setuju darinya.
"Janu kuat ya, gak sedih di depan banyak orang. Tapi walaupun begitu, Janu jangan dipendam sendiri kalau ada yang sakit di dalam hati."
"Kata Ayah, aku gak boleh jadi cowok yang lemah. Nanti takutnya ada orang yang suka manfaatin kita," sahut Janu dengan wajah polos.
Selesai menautkan kancing baju anak itu, Tantenya mengusap pelan pundaknya seraya tersenyum pahit. "Kamu hebat, Nu. Tante harap kamu bisa terima semua ini kalau sudah dewasa nanti," balasnya.
"Karena nanti tante gak akan ada di samping kamu, Nu."
"Emang tante mau ke mana? Janu boleh ikut? Soalnya Ayah sama Ibu 'kan udah pergi jauh."
Mendengar penuturan darinya membuat wanita itu langsung berderai air mata. Janu tidak mengerti kenapa tantenya sampai menangis sesenggukan seperti ini. Bahkan di sela tangisnya dia merintih sakit.
"Janu," ucapnya dengan jeda. Lalu dia kembali bersuara, "Tante gak bisa bawa Janu untuk tinggal di rumah karena Oma dan Suami tante yang minta. Tapi tante sudah janji ke Ayah kamu, kalau tante akan bawa Janu pergi jauh dari mereka. Kamu harus hidup sendiri, mau ya? Cuma ini yang bisa tante lakukan buat kamu."
"Tante mohon, suatu saat kalau kamu mengerti dengan situasi ini, jangan membenci diri kamu sendiri oke? Janji sama Tante kamu bakal jadi cowok yang kuat," pintanya di sela isakan yang mulai mereda.
Janu tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat ini. Hatinya merasa terkoyak bertubi-tubi. Dari kecil, dia memang sudah paham dengan kebencian keluarga besarnya. Tapi cowok itu tidak menyangka sampai seperti ini.
"Aku janji gak akan datang lagi ke tempat ini. Aku juga janji sama tante buat jadi cowok yang kuat supaya Ayah sama Ibu bangga," jawab Janu yakin.
"Iya sayang. Terima kasih dan maaf untuk semua ini. Kalau gitu, ayok kita turun samperin Ayah sama Ibu. Sebentar lagi mereka mau dibawa ke pemakaman," ajak Laura pada Janu yang langsung disetujui.
***
Setelah acara pemakaman kedua orang tuanya sudah selesai, Laura segera membawa Janu dengan mobilnya secara sembunyi-sembunyi. Semua orang sejak tadi masih heran dengan Janu-anak semata wayang Pradipta itu tidak menampilkan kesedihan di wajahnya.
"Janu mau dibawa ke mana tante?"
"Tempat yang jauh."
"Berarti aku gak bisa ketemu Ayah sama Ibu lagi?"
Laura sedikit menoleh pada anak itu, dia mengusap lembut puncak rambutnya. Lalu kembali menghadap depan.
"Kamu bisa ziarah ke sana nanti kalau sudah besar. Intinya kamu harus banyak berdoa supaya Ayah sama Ibu tenang di sana."
"Iya tante."
***
"Jadi, nak Janu bakal tinggal di panti asuhan ini ya?"
"Iya, bu. Saya mohon tolong jaga Janu di sini. Karena saya sendiri gak bisa bawa dia."
Kini kedua wanita dewasa itu sibuk berbincang di ruang tengah. Janu sendiri asik memerhatikan anak-anak kecil sedang bermain dari bilik jendela. Laura membawanya ke Panti Asuhan yang berada di Jakarta.
"Baik kalau gitu, saya pamit ya, Bu. Terima kasih sudah mau menerima Janu di sini," putus Laura setelah berbincang panjang lebar.
Ibu panti pun ikut berdiri seraya menerima uluran tangannya untuk bersalaman. "Saya yang berterima kasih karena bapak Pradipta sendiri sudah banyak membantu di Panti ini," ungkapnya.
"Sama-sama, Bu." Laura tersenyum tulus. Dia lalu menoleh pada Janu yang termenung.
"Janu."
"Ya tante?" Pemuda itu balik menatapnya.
"Jaga diri kamu baik-baik di sini ya," pesan Laura dengan makna dalam.
"Ya. Janu 'kan sudah janji," balasnya.
"Kalau gitu, Tante Laura pergi ya sayang? Jangan nakal di sini."
Janu melihat itu segera berlari menghampiri Laura dan memeluk pinggangnya.
"Tante, makasih buat semuanya."
"Iya sayang. Maaf sudah buat kamu seperti ini." Tangis Laura kembali pecah. Dia tidak sanggup meninggalkan Janu sendiri, namun dia tahu ini adalah jalan satu-satunya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Laura akhirnya pamit setelah cukup menangis dan memberi nasihat pada Janu. Cowok itu melambaikan tangan ke arah mobilnya. Janu mencoba menampilkan senyum terbaiknya pada Laura untuk terakhir kali.
Lalu setelah tantenya menghilang, tiba-tiba saja air mata laki-laki kecil itu meluruh. Janu tidak sekuat seperti yang Laura kira.
Janu akhirnya menumpahkan segalanya di sana. Terisak hebat seraya menyebutkan nama Ayah dan Ibunya lewat bibirnya yang bergetar. Hujan pun perlahan ikut menemani sedihnya. Merasakan pedihnya Janu yang sudah kehilangan semestanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Takut Mencintai
Fanfiction"Kamu gak punya malu, ya?" Laki-laki berbadan tinggi itu menatap risih pada seorang perempuan di hadapannya. Sedangkan sang empu, dia semakin menampilkan lesung pipinya, tersenyum manis pada si Janu-nama laki-laki tersebut. "Tapi gue suka gangguin...