"Karena, Janu itu kayak obat luka bagi Lava. Dia mampu menyamarkan pahitnya semesta."
***Lava memandangi ponselnya yang berada di dalam genggamannya. Sejak tadi, dia hanya mengecek kolom pesannya bersama Januari. Sesekali merubah tidurnya dari kanan hingga ke kiri.
Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Biasanya, Janu suka membalas pesannya walau hanya mengingatkan untuk tidak tidur malam. Lava tahu mungkin saat ini cowok itu sedang tidak tidur.
"Janu lagi apa ya?"
Dia berbalik arah menjadi tengkurap. Malas karena belum ada balasan, Lava berinisiatif untuk menonton drama kesukaannya yang sedang tayang. Gadis itu menghela napas ketika melihat kebersamaan tokoh utama dengan lawan mainnya. Andaikan jika itu Lava dan Janu, mungkin dia akan merasa bahagia.
"Aaa lucu banget sih," gumamnya terlalu gemas.
TOK! TOK!
"Siapa?"
"Ini Mama sayang."
"Oh, buka aja Mama." Lava lantas bangkit dari kasurnya untuk membukakan pintu kamarnya. Hal yang dia lihat saat pintu itu terbuka adalah wajah kesal Mentari.
Lava hanya cengengesan tidak jelas. "Hehe, kenapa Ma?"
"Pakai tanya lagi. Kenapa belum tidur? Besok kamu 'kan ada jadwal berobat," imbuh Mentari.
"Iya, Ma. Ini juga mau tidur, kok."
"Mana buktinya itu masih nonton drama. Awas lho ya kalau dibangunin susah, Mama gak mau anterin nih."
"Dihhh, kok Mama jadi bawel gini sama Lava. Iya! Sekarang aku tidur, nih. Jadi ke kamar cuma mau omelin aku ya," ujar Lava sebal. Membuat sang Mama mencubit tangannya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Takut Mencintai
Fanfiction"Kamu gak punya malu, ya?" Laki-laki berbadan tinggi itu menatap risih pada seorang perempuan di hadapannya. Sedangkan sang empu, dia semakin menampilkan lesung pipinya, tersenyum manis pada si Janu-nama laki-laki tersebut. "Tapi gue suka gangguin...