"Heyheyheyy!! Dia bangun!" Gwaniel berbisik heboh saat mata indah itu akhirnya terbuka setelah berhari-hari tertutup sejak insiden aula.
Semua orang yang ada diruangan itu berjalan cepat mendekati kasur, ahh tidak, lebih tepatnya berjalan mendekati sosok yang sedang terbaring disana.
Vante menyipitkan netranya saat cahaya memasuki netranya yang baru saja terbuka, "Ahhh, sakit." Lirih pemuda itu dengan suara seraknya.
"Bulan sabit, malam ini dia resmi menjadi pemain terakhir." Gumam Yulian yang berdiri disamping Nero.
"DEV!" Vante sontak berdiri dari kasur, anak itu berjalan linglung menuju pintu dengan cepat. "Kenapa aku disini?" Lirihnya pelan, ia terdiam ditempatnya, tungkainya membeku didepan pintu, tidak ini bukan diapartement nya atau dirumah sakit, ini kastil merah maroon itu lagi. Pemuda itu menepuk kencang pipinya, berusaha membangunkan dirinya dari mimpi buruk yang ia alami. Vante berhenti bergerak, air matanya mengalir begitu saja saat menyadari jika hal itu sama sekali tidak bisa membangun nya. Ia kembali ketempat itu, dan dirinya tidak tahu caranya kembali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya dilantai kayu, ia menatap kosong ke depan. "Bagaimana dengan Dev?" Isakan perlahan terdengar dari pemuda yang saat ini sedang memeluk lututnya erat itu, menyembunyikan wajah penuh air matanya di lipatan lengkungan tubuhnya.
"Sesuatu terjadi padanya sebelum dia datang kesini, dan itu sesuatu yang buruk." Ucap Gwaniel pelan, mereka semua terdiam menatap Vante yang masih menangis dibelakang pintu, mereka bahkan tidak tau harus berbuat apa. Masing-masing dari mereka sampai dikastil ini dengan cara dan peristiwa berbeda-beda, dan sepertinya Vante yang terburuk.
Pemuda itu terlihat kesepian, pertama kali sejak mereka melihatnya diaula. Terlihat polos dan lugu, tidak seperti seorang pemuda, tapi lebih terlihat seperti seorang anak-anak. "Bibi Anne bilang dia lebih tua dari pada Arsen, kau yakin?" Tanya Rain kepada Nero, yang ditanggapi dengan gelengan oleh pemuda itu.
"Teman-teman apa yang harus kita lakukan?" Bisik Aelios kepada lima pemuda yang hanya berdiam diri sambil menatap Vante. Mereka semua kompak mengangkat bahu, membuat Aelios menggaruk keningnya bingung, sejujurnya dia juga tidak tahu.
Arsen tiba-tiba saja berjalan mendekati Vante tanpa suara, anak itu ikut duduk disamping Vante, diam selama beberapa saat. "Aku Arsen, delapan belas tahun, pemain keenam, aku memainkan Flute" Ucap Arsen. Hening sesaat, sampai akhir Vante mengangkat kepalanya dan menatap kearah Arsen.
Lima pemuda yang berdiri tidak jauh dari dua orang itu saling bertatapan, mereka tidak butuh hal apapun untuk dilakukan, cukup mengenalkan diri mereka masing-masing saja bisa membuat Vante sedikit lebih baik. Satu-satunya hal yang mereka harus lakukan ada meyakinkan Vante jika semua akan baik-baik saja. "Aku Aelios, duapuluh satu tahun, pemain kelima. Aku pemain cello!" Aelios juga ikut mendekat, kemudian duduk disamping Vante dengan senyum lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA : When The Wings Spread
Fanfiction[REVISI] Vante yang mencintai musik tapi tersadar jika suaranya hanya bergema sendirian, gemanya berwarna semu karena tidak ada gema lain yang melengkapi. Pria muda itu kemudian bertanya-tanya. Apa arti semua ini? Saat menyadari hal itu, mimpi-mimpi...