Atau Takdir

57.1K 782 2
                                        

Sampailah aku di depan kamar nomor 9 sebelah kamar yang aku sewa. Menarik napas dalam dan pelan aku mulai mengetuk pintu berpernis yang menjulang tinggi di depan wajahku. Zara si kampret sudah pergi dan akan menjemput nanti setelah acara ini selesai. Acara? Ah masa bodo apa sebutannya.

Tak selang berapa lama pintu sialan ini akhirnya terbuka. Jantungku berdegup ria saat kulihat wajah tampan Gara menatap datar. "Ayo masuk," katanya.

Huh! Bahkan untuk seseorang yang tidak dia kenal sikapnya begitu dingin. Aku mengekorinya, memasuki ruangan yang tata letaknya sama persis seperti kamar kost yang akan aku tempati.

"Duduk." Aku menoleh kanan kiri mencari kursi, tapi Gara menunjuk ke ranjang berseprei hitam. "Duduk di situ."

Kutempelkan pantatku di kasurnya yang empuk, mataku tak lepas dari gerak-gerik cowok tinggi di depanku yang sibuk mencari sesuatu. Rambut nya yang sedikit basah menguarkan wangi shampoo. Tak lama tangannya menggapai remot tv dan mematikan tv layar datar yang menempel di tembok.

Jantungku makin berdegup kencang, kini ia duduk menghadapku, matanya seperti menelisik setiap inci wajahku. Aku memulas senyum, meski masih tak berani menatap matanya. Sensasi terbakar mulai terasa di pipi sialan ini.

"Tatap mata gue," bisiknya.

"Lo mau hipnotis gue?" Hardikku membuatnya sedikit tersenyum. Senyum yang walau sedikit mampu memporak porandakan seisi hatiku. Hey ingat Difya! Kamu harus waspada!

"Enggak lah, gue cuma mau liat orang yang ambil perjaka gue waktu itu dengan jelas."

"Lo nyewa gue cuma mau itu?" tanyaku polos. Sedangkan Gara terkekeh seperti mengejekku. Ah sialan cowok ini!

Dengan pelan ia menarik tangan dan memposisikan tubuhku dipangkuan. Aku cukup terkejut dengan tindakannya. Sekarang tubuhku dan tubuhnya saling berhadapan. "Nama lo siapa?" Bisiknya tepat di samping telinga, bulu kudukku langsung mencuat bangun.

"Dif— eh Nana." Aku merutuki kebodohanku, kalau aku sampai menyebut nama asli bisa-bisa identitasku terbongkar.

"Difya kan?" Seluruh bulu di kulit seketika berlomba untuk bangun, mataku hampir lepas dari tempatnya, tanganku reflek mendorong tubuh kekar Anggara.

"Maksud lo?"

"Lo Difya kan? Cewek cupu di kelas gue," ucapnya, seperti ia mengetahui segala hal, aku ingin bangun dari pangkuannya tapi tangannya yang memeluk tubuhku membuat susah bergerak. "Gausah panik."

"G-gue bukan Difya! Gue Nana." Elakku tapi ia seperti tak mendengar ucapanku malah semakin mempererat pelukannya. "Lepasin gue."

"Semakin lo panik semakin bener tebakan gue." Matanya menatap tajam mataku. "Parfum lo, tatapan mata lo, semua gue inget."

"Lo nggak tau siapa gue!" Aku membentaknya tapi bukan ketakutan yang ia dapatkan tapi tangannya semakin menekan tubuh ini ke arah tubuhnya. Semua terlambat yang aku rasakan sekarang hanya kecupan bibir dari Gara yang menyapu habis bibirku. Energipun sudah habis karena melawan tubuhnya ku rasa hanya sia-sia.

"Gue tau, sekarang mending lo nurut." Ucapnya sebelum kembali melumat habis bibir ini.

"Akh! Jangan di gigit." Lirihku, Gara tersenyum dan kembali mencumbu pelan. Aku sudah tidak berdaya, pikiranku buntu. Hanya nafas kami yang semakin beradu di keheningan kamar, dan decapan dari bibirnya yang memekakan telinga. Aroma mint dari bibir Gara amat memabukan.

Aku merasakan pijatan di buah dadaku yang hanya tertutup gaun tanpa bra. Bibirnya turun mencecap leher yang lumayan jenjang ini, aku semakin tidak bisa menahan karna rasa nikmat yang aku rasakan.

"Mmh Gara, jangan dijilat." Entah dari mana aku belajar merintih seperti itu, seperti bukan Difya!

Aku merasakan basah di sekitar dada, Gara rupanya telah menjilat dan mengecup bagian atas dada. Yang tidak aku ingin bayangkan terjadi, Gara membuka paksa gaun hitam ini dan menampilkan gundukan payudaraku. "Puting lo kecil." Ucapnya serius, meneliti puncak gunung kembarku. "Warnanya pink."

Aku menggeleng, "jangan diliat!"

Seperti tak mendengar ucapanku kini lidahnya sudah bermain-main di ujung sana. Badanku menggelinjang merasakan sensasi aneh di sekujur tubuh. "S-stop please."

"Nggak akan."

Tiba-tiba sebuah suara panggilan masuk ke ponsel Gara. Pemuda melepaskan tubuhku pelan, aku segera bangkit dan membereskan ulahnya.

"Yes, mam. Aku lagi meeting organisasi. Pulang? Sekarang? Oke."

Gara membalikan tubuhnya menghadapku, "5 menit lagi ya."

"Apa?"

Tubuhku didudukan lagi di springbed empuk ini, tangannya segera mengeluarkan sesuatu dari celananya. "Buka mulut."

Belum selesai aku terkejut melihat senjatanya, ia sudah menjejalkan pusaka itu ke dalam mulutku. "Mmhh mmmhh."

Gara memaju mundurkan pantatnya sedangkan aku hampir tersedak karna benda panjang itu menyentuh ujung mulut.

"Huek."

Melihatku yang tak sanggup mengoral penisnya cowok ini hanya memegang rahangku dan mendongakan ke atas. Tangannya sibuk memainkan senjatanya, maju mundur sesuai irama.

Tak lama Gara memejamkan mata, tubuhnya menegang dan cairan putih menyembur keluar memasuki mulutku. "Ah gue keluar."

***
Vote ya kak

SEDUCTIVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang