Adam merengut melihatku kesakitan. "Lo kalo ada masalah jangan di lampiasin ke cewek," gerutunya pada Gara. Pemuda yang diceramahi itu hanya berdehem. "Lo nggak apa-apa kan, Dif?"
Aku tersenyum canggung pada muka polosnya yang terlihat prihatin, "gue ngga apa-apa, tadi ada kecoa jadi Gara reflek ngedorong gue," ucapku berusaha meyakinkannya.
Pemuda beralis tebal itu hanya mengagguk-angguk. Lalu menepuk bahu Gara yang sedari tadi diam. "Gue sama yang lain mau ke club, otak kita-kita menolak buat belajar, lo ikut kan?"
Aku bisa merasakan lirikan Gara, mataku juga ikut meliriknya. "Gue nggak–"
"Sama lo juga, Dif! Lo ikut ya!" Serunya sambil menjawil pipiku. Aku tidak ingin ke club dan juga tidak ingin akrab dengan Adam dan gengnya yang sering membullyku, apa ini salah satu trik mereka untuk mempermalukan ku di tempat umum? "Ayolah, Dif. Biar rame!"
Aku sekali lagi melirik Gara, cowok itu hanya mengkat bahu.
"Ayo Gar, lo bosen kan di kost?"
"Gue ikut kalo Difya ikut," ucap Gara dengan nada yakin. Kini Adam semakin menatapku tajam menuntut agar aku mengikuti mereka, aku ingin menolaknya, tapi aku takut mereka membullyku karna gara-gara aku si Anggara tak ikut mereka ke club!
"Y-yaudah deh, gue ikut."
"Bagus. Kita ke toko baju dulu biar lo nggak dikira gembel di sana!" Ucap Adam semangat.
Aku menunduk ke bawah untuk melihat kemeja dan jeansku yang lusuh, lalu menghembuskan nafas pasrah.
***
Entah siapa yang memilihkan dress dengan potongan dada rendah dan rok mini setengah paha ini. Yang kulihat senyum senyum mereka yang mengantarku ke toko baju ini, Edwin tampak takjub dengan pakaian yang ku kenakan, Adam sumringah karena aku menuruti perkataannya, Dion berdehem beberapa kali seperti salah tingkah. Tapi Gara tampak kesal melihat respon teman-temannya.
"Udah yok, keburu bubar tuh club." Gara meninggalkan tempat tunggu dengan wajah masam.
"Gila sih, lo hidden gem ternyata," komentar Edwin, matanya tertuju ke paha mulus lalu ke belahan dadaku.
"Jaga mata lo, jangan jadiin guru gue sumber hayalan lo." Adam menimpali sambil menoyor kepala Edwin.
Aku berusaha biasa saja dengan ini tapi jantungku berdegub kencang karena baru kali ini aku menampakan sisi nakalku pada laki-laki selain Gara.
Waktu cepat berlalu, kini kami berlima sudah memasuki club yang suaranya cukup membuatku pusing. Aku mengikuti Gara duduk di bar sedangkan yang lain sedang menggoyangkan tubuh mereka di lantai dansa.
Aku sedang melamun saat kurasakan tangan seseorang di paha ku. Aku menoleh ke kiri dan menemukan pria yang terlihat lebih tua dari kami tersenyum ke arahku.
"Hai, boleh kenalan?"
Aku menelan ludahku susah payah, apa maksudnya mengajak berkenalan dengan mengelus paha seseorang?
"Permisi om, ini pacar saya," ucap Gara seperti mengetahui apa yang terjadi. Pria tua itu tersenyum sopan ke arah Gara dan memalingkan wajah. "Kita ke sofa itu aja," Gara menunjuk pojok ruangan dan menuntun ku ke sana.
"Apa lo biasa ke tempat kayak gini buat nyari pelanggan?" Tanya Gara disampingku terdengar jengah. Aku melebarkan mata sambil bergeleng.
"Gue nerima orderan lewat temen gue," ya selama ini aku hanya menerima orderan lewat Zara.
"Berapa laki-laki yang udah tidur sama lo?" Tanya nya dengan suara serak, wajahnya sangat dekat dengan telingaku, telunjuknya memainkan ujung rambut. Aku menatap matanya di keremangan tempat ini karna tak tersorot lampu, aku ingin menjelaskan padanya kalau aku bukan wanita seperti itu, walaupun sebenarnya aku wanita seperti itu.
"Banyak." Tapi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku, padahal aku hanya pernah tidur dengannya, dia pelanggan setiaku. Mataku terus menelisik matanya berharap menemukan jawaban kenapa Gara terlihat tidak mood selama di sini.
"Apa bener gue yang pertama?" Suaranya semakin serak. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. "Duit dari gue kurang ya?"
Aku mengingat gaji pertamaku karena melepas keperawanan padanya, lima juta, yang aku pikir cukup besar waktu itu. "Ya, lumayan buat jajan." Padahal uangnya sudah habis untuk membayar cicilan dan men-dp kos baru. Dan uang lain dari Gara yang ia selipkan di tasku kalau kami melakukan hubungan terlarang itu kian menipis seiring berjalannya waktu.
Gara mengelus kepalaku perlahan, "lo kalo butuh apa-apa bilang ke gue, tapi gue minta lo berhenti dari pekerjaan kayak gini."
Sedikit kaget dengan ucapannya, entah apa yang dimaksud Gara, padahal aku ingin menjauh darinya!
"Lo nggak perlu repot-repot!" sergahku cepat, aku benar-benar tak ingin berurusan lagi dengannya.
"Tapi gue mau direpotin lo," lirihnya sebelum menarik wajahku semakin dekat untuk memagut bibirku.
Aku merasakan setiap pagutan dari bibirnya terasa berat, "gue nggak mau lo sama orang lain," bisiknya di sela-sela ciumannya.
"Gar, bisa ditempat lain nggak? Gue takut temen-temen lo liat." Ucapku ketika ciumannya beralih ke leher, untuk menyesap leher jenjangku, ah aku takut Gara meninggalkan bekas di sana.
"Lo mau di mana?"
"Di mobil." ucapku bodoh sebelum akhirnya dengan senyum merekah Gara menarik tanganku ke parkiran.
***
Aku memaju-mundurkan pantatku di atas pangkuannya, lubang vaginaku terasa penuh oleh penisnya yang cukup besar. Di tengah berisiknya rintihan ku dapat kudengar nafas Gara yang tak beraturan.
"Enak, Difya." Suara nya yang dalam membuatku semakin bersemangat menggesek-gesekkan alat kelamin kami.
Buah dadaku yang bergelayutan dimanfaatkan Gara, dimainkannya keduanya dengan semangat, ujung payudaraku diputar-putar membuatku tak bisa menahan desahan.
Gila, Gara memang gila!!
"Aaah ahhh, Garaa."
Aku takut seseorang mendengar kami dari luar tapi aku tak bisa menahannya.
Aku memelankan gesekan ku lalu memasukan ujung buah dadaku ke mulut Gara, dia dengan senang menghisapnya, dan tak membiarkan satunya hanya bergelantungan di sana.
Tak butuh waktu lama sampai Gara memeluk tubuhku yang setengah telanjang, aku semakin memaju-mundurkan pantatku karena sudah pasti tak lama lagi Gara akan mengeluarkan isi penisnya.
"Gue keluarin di dalam, ahh." Gara memelukku dengan erat sebelum akhirnya lemas terkulai di pelukanku. "Lo belum klimaks ya?"
"Belum." Jawabku malu-malu.
Gara dengan cepat memainkan klitorisku dengan jarinya, dan mulutnya tak berhenti menyedot dan menghisap ujung payudaraku sampai badan ku kaku dan menegang, mulutku tak bisa berhenti meracau sampai akhirnya aku merasakan puncak kenikmatan itu.
Pria di depanku ini tersenyum kecil dan mengecup dahiku.
***
Vote ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
SEDUCTIVE (21+)
ChickLit21+ "Gue nggak suka ayam." "Tapi kalo ayam kampus lo suka kan?" Kesialan Difya saat pelanggan pertamanya ternyata teman kelasnya sendiri.