Gudang

75.3K 875 25
                                    

Sudah 2 hari semenjak malam itu, aku tidak melihat sosok Gara, di kelas maupun di lingkungan kampus. Lagian aku cukup malu untuk bertemu lagi dengannya.

"Heh ngapain liat-liat?" Celetuk seorang pria dari meja paling depan. Aku segera menunduk, membiarkan wajahku tertutup rambut. "Woy ditanyain malah buang muka!"

Huh aku tidak mau berurusan dengan gengnya Anggara, tapi salahku juga karena tanpa sadar telah menatap mereka terus. Lebih baik aku cuekin daripada menambah masalah.

"Cupu lo, sok kecantikan." Celetuk salah satu wanita di sana. Aku cukup mengenalnya sebagai salah satu mahasiswi paling aktif di kelas. Yang menurut Zara,  Fania tidak beda jauh dengannya. Bahkan untuk masuk ke geng Gara ia siap menjadi penggoda.

Suara ketukan sepatu terdengar tepat saat aku berniat meminta maaf pada mereka. Hatiku mencelos saat sosok bertubuh tinggi dengan balutan kemeja hitam memasuki kelas siang ini. Matanya yang tajam sempat melirikku tetapi kemudian beralih menatap teman-temannya.

"Aduhh ayang Gara udah masuk ya!" Oceh Fania. "Aku kangen tauu."

Aku tak lagi memperdulikan mereka yang mulai mengobrol dengan suara keras. Buku di depanku lebih menarik perhatian, tentu saja kalau tidak ada Anggara di sana. Sialnya mata laknat ini beberapa kali melirik ke arahnya dan melihat iris berwarna cokelat terang itu ikut memandang ke arahku. Seketika jantungku berderap cepat, aku berusaha mengontrolnya semampuku.

Tak lama Zara kembali dari kantin, membawa beberapa bengbeng dan menyebarnya di mejaku. "Apa?"

"Ini alat buat kode rahasia kita." Ucapnya girang, menggoyangkan satu bengbeng ke depan mukaku.

"Maksudnya apa gue ga paham."

"Nanti gue jelasin, Dif."

Aku memandang jajanan itu tanpa berkedip, tiba-tiba pikiranku melayang ke kejadian malam itu. Setelah Gara ditelfon mamanya dan setelah aku menelan cairan kenikmatannya, Gara mengatakan padaku agar aku tetap menjadi aku yang tidak mengenal pemuda itu secara langsung.

Dan hingga kinipun aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya ke Zara. Gadis ini hanya tahu aku mendapat banyak uang lagi dari pelanggan setiaku itu.

"Gue kasih tau ya, Difya, fungsi bengbeng ini tuh biar pelanggan tau kalo kita "ayam kampus"." Aku langsung melemparkan bungkus coklat itu setelah mendengar bisikan Zara.

"Gak masuk akal!"

***

Zara memasukan jajanan coklat itu ke saku belakang jeans ku. Aku yang mengenakan kemeja sampai menutup pantat diikatnya di bagian depan agar bagian saku celanaku terlihat. "Yang tau kode ini ya mereka-mereka yang tau aja. Dan mereka nggak ember kok!"

Aku takut, imageku di kampus kan gadis baik-baik, bagaimana kalau kegiatanku jadi cemoohan mereka? "Gue nggak usah pake deh, Ra."

"Pake, biar banyak yang tau!"

"Ih aneh deh lo katanya mau nyimpen rahasia gue!" Kesal, aku ingat kata-kata nya yang berjanji akan menjaga identitas ku.

"Ih yaudah deh terserah lo." Zara mendengkus, lalu memasukkan bengbeng ke sakunya sendiri. "Gue pulang duluan ya, ada janji."

Aku mengangguk, lagian aku juga ada janji dengan sopir angkut barang yang aku pesan untuk memindahkan barang-barang di kostku ke kost baru. Aku mengikuti langkah Zara dari belakang, tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku secara kasar, membawa tubuhku memasuki sebuah ruangan.

Belum sempat aku berkata-kata sebuah bibir mendarat tepat di atas bibirku, mataku terbuka lebar saat mengetahui pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Anggara. Tanganku tercengkram tangan kekarnya, tubuhku disenderkan di balik pintu, bibirnya tak berhenti bermain dengan bibirku, melumatnya kasar.

"Mmhh, lepas, jangan digigit!" Erangku kala aku merasakan perih di bibir atasku. Gara melepaskan ciumannya dan menjauhkan sedikit wajah kami, nafasnya memburu.

"Kenapa lo bisa bikin gue segila ini?" Bisiknya, matanya menatap tajam mataku. Aku yang ketakutan hanya menggeleng kaku. "Jelasin ke gue!"

"Gue nggak tau Anggara, kalo lo gila lebih baik lo ke psikiater." Setelah mendengar ucapanku bibir Gara tertarik sedikit ke atas.

"Gue nggak butuh psikiater gue butuh ini."  Ibu jarinya mengusap bibir bawahku. "Ini." Telunjuknya menunjuk dadaku. "Dan ini." Tangannya menyentuh pelan bagian tengah jeansku.

Mataku menatapnya nanar, hatiku sedikit tercubit, ternyata seperti ini rasanya saat seseorang hanya menginginkan tubuhmu. Tapi siapa aku? Gara tahu kalau aku lah yang bisa memuaskan hasratnya.

"Lo tau? Selama di kelas tadi, gue nggak bisa tahan dengan wajah polos lo, gue penasaran gimana rasanya bercinta dengan lo tanpa topeng yang biasa lo pake."

Aku hanya bisa pasrah, cahaya remang-remang di ruangan yang aku yakini gudang kampus ini, dan suara serak Gara entah mengapa membuat sesuatu di bawah sana terasa basah.

Tak memberiku waktu berfikir, leherku sudah dikecupnya, nafasku tercekat ketika kurasakan lidahnya memasuki telingaku. Erangan kecil lolos dari bibirku, yang kusesali karna sekarang tangannya ikut bermain di atas gundukan bukit kembarku, tanpa melepaskan lumatannya di telinga. Aku tak bisa lagi menahan erangan demi erangan karna yang kurasakan serangan nikmat yang seolah merenggut kesadaranku.

"Ah ah Gara geli."

Seolah suaraku adalah bahan bakar yang menyemangati aksinya, kini tubuhku dibaliknya menghadap ke pintu, tangannya dengan cekatan melepas kancing celanaku dan melorotkannya sampai lepas. Aku tercengang karna sekarang aku tak memakai bawahan. Tak lama ku rasakan sebuah benda tumpul menempel di lipatan pantat. Aku benar-benar tak bisa berfikir lagi, hingga mengizinkan benda itu memasuki milikku lewat belakang.

"Ah pelan-pelan."

Gara tak mendengarkanku, hanya deru nafasnya yang semakin terdengar. Aku hilang akal, setiap sentakan dari tubuh Gara membuatku bergetar. Aku tidak menyangka bersenggama dengan cara berdiri seperti ini semakin menambah kenikmatan yang aku rasakan.

Tangan Gara tak lepas dari payudaraku, dari belakang tangannya tetap meremas-remas bukitku menambah sensasi  gelenyar di tubuh.

Aku menoleh ke belakang menatap mata Gara yang setengah terpejam.

"This is so damn good, bitch." Ucapnya sebelum meraup bibirku dengan bibirnya.

Aku rasa ini posisi yang aneh tapi entah kenapa tubuhku semakin kaku dan kaku. Begitupun tubuh pemuda ini yang semakin tegang seiring cepatnya ia memaju mundurkan tubuhnya.

"I'm coming." Erangan kenikmatan Gara dan matanya yang terpejam erat terlihat indah di tengah remangnya ruangan ini.

Milikku pun berdenyut kaku dan terasa ingin mengeluarkan sesuatu, hingga akhirnya ku rasakan semburan hangat dari batang kejantanannya, dan kurasakan sesuatu juga mengalir dari dalam rahimku.

Nafas kami beradu di pengapnya gudang ini.

"Lo gila." Bisiknya terdengar frustrasi.

***

Vote ya

SEDUCTIVE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang