𝐇𝐀𝐏𝐏𝐈𝐍𝐄𝐒𝐒 | 00.02

883 130 3
                                    

Happiness | MewGulf

...

Senja hampir akan di gulung gelap sepenuhnya saat Gulf masih terlihat betah duduk di bangku taman—tanpa kehadiran sosok lelaki yang selalu ia jumpai di tempat ini beberapa hari terakhir.

Entah sudah berapa kali kepala dengan surai pekat itu menoleh ke kanan dan ke kiri, sembari menatap lekat setiap lorong dan setiap orang yang berlalu lalang.

Ada banyak pertanyaan yang berputar dalam kepalanya tentang apa yang ia lihat kemarin. Entahlah ... Gulf hanya sedikit penasaran atas beberapa hal yang ada pada Mew, dan juga rencananya ia berniat berterima kasih.

Suasana kian menggelap, beberapa lampu taman hampir menyala seluruhnya.

“Tuan, udara semakin dingin sebaiknya kita kembali ke bangsal.” Perawat wanita itu mengintrupsi dengan suara terlampau halus.

Gulf yang masih setiap mengedarkan pandangan hanya sekilas menggeleng.

“Anda membutuhkan sesuatu?” Sudah puluhan menit kedua netra perawat itu memperhatikan tingkah tak nyaman dari pasien tanggung jawabnya itu. Tampak seperti tengah mencoba mencari sesuatu.

Apakah alangkah baiknya Gulf menurunkan sedikit arogansinya dan bertanya saja?

Gulf mendongak, menatap sang perawat. “Laki-laki kemarin ... umm apa dia selalu datang ke tempat ini?”

“Mew?”

Gulf mengangguk polos.

Perawat itu mengulas senyum—senyeum sendu, kemudian mengangguk. “Bangku taman ini menjadi tempat di mana Mew menghabisi sisa senja. Semua penghuni rumah sakit hanya perlu datang ke taman jika tak menemukan Mew di kamarnya.”

Tunggu, tunggu. Bukankah pernyataan perawat itu sedikit mengganjal? Penghuni rumah sakit, apa Mew seorang direktur?

Tch! Mew terdengar telah menjadi penghuni abadi rumah sakit ini.” Banyangkan saja, Mew seolah-olah telah di kenal semua orang yang ada di rumah sakit ini. Bahkan bangku ini seperti telah menjadi hak milik lelaki bernama Mew itu.

Perawat itu menurunkan sedikit semburat senyum pada bibirnya kemudian berkata, “Tuan, jika saya boleh berpesan anda harus berteman dengan Mew. Ada banyak hal yang tidak bisa anda bayangkan jika telah mengenal Mew sepenuhnya.”

“Apa dia seorang cendikiawan yang sakit otak karena terlalu banyak berpikir? Atau seorang abdi negara yang sedang sakit otot? Kenapa kau berbicara seolah-olah Mew adalah sosok terhebat di muka bumi ini.”

“Mew si pejuang hidup.” Suara perawat itu berubah pecah dan parau. “Saya tak bisa bercerita lebih jauh, namun anda harus mencoba berteman dengan Mew, Tuan.”

“Dia yang ingin berteman dengan ku,” sela Gulf dengan wajah datar. “Lagipula lelaki itu cukup berisik untuk di katakan sakit. Apa Mew hanya lelaki kurang kerjaan yang menginap di rumah sakit?”

“Mew benar sakit Tuan, dan akan segera sembuh.” Itu harapan banyak orang.

“Biar ku tebak, lelaki aneh itu pasti memiliki gangguan kewarasan—ouh! Atau tidak dia mungkin memiliki masalah pada fungsi otaknya.”

“Masalah otak ... bagaimana anda tau?.”

Gulf mengendik, “lihat saja tingkahnya, tersenyum sepanjang waktu. Bertingkah bagai orang yang tak punya beban hidup, bukankah itu cukup menjelaskan apa yang ada dalam kepala lelaki itu. Pasti Mew memiliki masalah kejiwaan, memangnya apa lagi?”

Cancer brain.”

“Apa?” Gulf spontan mengalihkan pandangannya dari langit-langit dan kembali menatap wajah perawat wanita itu serius. Masalah otak yang ada di pikirannya benar-benar tak menjurus pada topik itu.

“Mew si pejuang kanker otak.”

Angin seketika terasa hampa. Membelai tengkuk dengan sensasi terlampau dingin.

Mew dengan kepala tanpa mahkota yang Gulf lihat kemarin malam seharusnya telah menjelaskan segalanya.

“𝓗𝓪𝓹𝓹𝓲𝓷𝓮𝓼𝓼”

Cahaya matahari telah hilang sepenuhnya di gusur gelap, saat Mew masih betah menikmati setiap rasa sakit yang merambati sekujur persendiannya.

Rasa sakit yang ... sudah terasa biasa.

Beberapa jam terlewati dengan dramatis. Beberapa suntikan obat chemotherapy intens sanggup meruntuhkan benteng air matanya. Itu sakit, tapi tidak apa-apa.

Namun setelah beberapa jam setelahnya, Mew malah harus di buat sedikit sedih. Prosedur chemotherapy itu ternyata banyak memakan waktu, dan ketika ia telah kembali ke kamar inap waktu sudah merangkak menuju malam.

Padahal ada teman baru yang ingin ia sapa serta benar-benar membuatnya ingin selalu datang ke bangku taman—tempat di mana ia bertemu sosok Gulf untuk pertama kalinya.

“Apa kau datang lagi Gulf?” monolog Mew di tengah keheningan.

Entahlah, Gulf mungkin selalu terlihat bersikap seenaknya namun bagi Mew Gulf itu istimewa. Ada suatu hal yang amat sangat menarik perhatian Mew, atau bahkan keterkejutannya saat pertama kali berjumpa dengan Gulf.

Mew tak perlu bertanya seberapa hebat perjuangan Gulf untuk hidup, ketika kedua netranya mendapati banyak garis kemerahan yang melingkar di pergelangan tangan pemuda manis itu.

Bertahan hidup itu sulit.

Mew harus bertarung dengan waktu dan rasa sakit fisik, dan Gulf juga harus bertarung dengan keadaan dan lara batin.

Tak ada penderitaan yang ringan maupun paling berat. Semua penderitaan sama-sama terasa pedih.

...

To be continued.

Heavy hearts, like heavy clouds in the sky, are best relieved by the letting of a little water

“Heavy hearts, like heavy clouds in the sky, are best relieved by the letting of a little water”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HAPPINESS • This Life's Destiny [MEWGULF] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang