Yang Clarisaa khawatirkan ternyata terjadi. Tak sia-sia ia menolak ajakan teman-teman nya untuk ke cafe terlebih dahulu, Clarisaa ingin segera pulang dan menemui Artur serta anaknya. Dan apa yang ia dapat?
Artur dan Hazel sedang makan burger dibawah meja makan sambil cekikan, jangan lupakan dua botol cola kecil yang sudah kosong dan dua bungkus plastik es krim. Ada bekas wadah kentang dan ayam goreng juga. Clarisaa memeriksa meja makan, lauk dan sayur bayam sisa sedikit tapi nasi masih utuh. Demi tuhan, suaminya ini memang mengesalkan.
"Enak ya makan burger? Bunda nya boleh dibagi?" ucap Clarisaa membuat keduanya diam mematung.
Artur memberanikan diri memandang Clarisaa lalu mengajukan burger yang sisa setengah itu sambil tersenyum kaku. "Makan, bu?"
"Sky, liat bunda sayang. Sky makan apa?"
Hazel perlahan berbalik, manik jernih selaras lelehan caramel itu membola terkejut. Pipinya mengembung karena burger nya belum di telan, saus tomat dan mayones ikut mengotori area mulut dan baju didadanya.
Clarisaa tersenyum, devil. Di satu sisi rasanya ia ingin melahap buntalan menggemaskan itu jika saja tak ingat kalau ia sedang marah sekarang.
"Ayo ayah, keluar."
Tak mau membantah, Artur perlahan merangkak keluar. Hazel yang ingin mengikuti sang ayah tak menyadari ada sisi tajam dari meja makan dekat dengan pelipisnya, dan kejadian tak di sadari siapapun. Sisi tajam itu membuat ukiran cukup panjang dan dalam di pelipis Hazel membuat darah segar mengalir.
"Buna..."
"HAZEL!"
Klinik,
Keduanya memutuskan membawa Hazel ke klinik dekat komplek, Luka sayatan itu bukan sekedar sayatan, luka nya cukup dalam dan mendapat 5 jahitan.
"Jangan di buka sampai tiga hari ya, jangan kena air juga. Kalau sudah tiga hari boleh kembali ke sini untuk melihat apakah ada infeksi atau tidak."
Clarisaa berucap terimakasih pada dokter yang mengobati Hazel lalu mengambil totebag berisikan beberapa obat, kapas, perban dan alkohol. Ia melirik Artur yang menggendong Hazel yang masih sesegukan.
Hazel menangis digendongan koala sang ayah, perban melingkar di kepalanya cukup menjawab apa yang membuatnya menangis. Artur mengikuti langkah Clarisaa yang berjalan mendahuluinya. Mati, istri nya pasti marah.
Clarisaa duduk di samping kemudi, ia menyuruh Artur memindahkan Hazel ke pangkuannya dan sekarang anak berusia 13 tahun itu berada di pangkuan sang bunda sedangkan Artur mulai mengemudi.
"Ssshh... Salah siapa nakal? Kok nangis?"
Clarisaa yang tadinya akan marah jadi tak tega, ia menghapus lembut air mata sang anak lalu mencium kening yang di perban itu lembut.
"Sakit, buna.. hiks perih. Muter muter juga kepalanya nya hiks."
Clarisaa kembali mencium kepala Hazel, menangkup kedua pipinya. "Nanti sakitnya hilang, sekarang Hazel bobo." ia mengusap punggung dan memeluk sang anak semakin erat.
Hazel berdengung, Clarisaa mengambil selimut tipis di jok belakang guna membungkus tubuh yang mulai menghangat itu. Setelah Hazel terlelap, Clarisaa mencubit pinggang Artur membuat pekikan ringan dari sang empu.
"Aduh! Bun? Kok ayah dicubit?"
"Ayah nggak ngerasa bersalah? Udah jajanin anaknya makanan yang gak sehat, makan cola sama es krim lagi. Terus gara-gara makan di bawah meja, ini—" Clarisaa mengusap kepala Hazel. "Ini luka, ayah. Berdarah."
Artur melirik Clarisaa memelas lalu kembali menatap jalan. "Iya, bunda, maaf."
"Jangan keseringan ajak Hazel makan makanan siap saji. Minggu kemarin kan udah? Apalagi tadi minum cola sama es krim, lambungnya gampang luka. Ya tuhan." desah frustasi Clarisaa, ia lalu menatap tajam Artur. "Kalo bunda liat sekali lagi, ayah sarapan, makan siang sama makan malam nya pake sayur hijau setahun."
"Kok gitu? Bun—"
"Nggak ada sesi nego." desis Clarisaa membuat Artur menenguk ludahnya kasar, mau tak mau ia mengangguk patuh.
Clarisaa terus memarahi Artur selama perjalanan pulang dengan tangan yang terus mengusap punggung sang anak. Ia kesal, Hazel memiliki lambung yang mudah luka atau meradang. Belum lama ini anaknya baru keluar dari rumah sakit karena memakan mie pedas, mudah sekali demam hanya karena minuman bersoda, es krim dan sejenisnya.
Clarisaa membatasi Hazel memakan makanan seperti itu, tapi Artur mudah sekali terpengaruh. Suaminya akan mengiyakan keinginan Hazel jika anak mereka sudah memasang puppy eyes.
•••
Saat sampai dirumah, Clarisaa langsung menidurkan Hazel dikamarnya. Ia kembali memberi petuah pada Artur sambil membereskan kekacauan yang diperbuat anak serta suaminya.
"Ciki, ayam goreng, cola, es krim, burger, coklat."
Clarisaa mengabsen lalu memasukan ke dalam plastik apa saja sampah makanan yang berada di sekitar meja makan. Setelah mengikat plastik sampah itu, ia beranjak ke kulkas.
"Ciki hilang dua bungkus, bunda bilangnya boleh makan satu. coklat boleh makan tiga, tapi ini hilang lima. Es krim juga hilang dua bungkus." ia berkacak pinggang lalu menunjuk meja makan. "Cemilan yang bunda siapin nggak disentuh sama sekali, terus itu— lauk sama sayur nya habis, tapi nasinya nggak berkurang. Ayah, gimana ini?"
Artur yang duduk manis di sofa menciut takut, dan lagi cemilan yang Clarisaa siapkan itu makanan sehat milik Hazel. Sambil menyengir tampan ia menjawab. "Wajar, bun—"
"Belum makan nasi tapi udah makan yang begituan. Gimana kalo Hazel sakit lagi? Dia baru tiga hari keluar rumah sakit, terus tadi dari klinik." ucapnya jengkel, Clarisaa mendekati Artur lalu memukul main-main bahu sang suami.
"Aduh! Iya bun, iya. Nggak-nggak lagi."
"Awas ya, kalo bunda liat sekali lagi, ayah tidurnya diluar. Di teras rumah." jawabnya lalu melenggang pergi.
"Salah mulu jadi laki-laki." gumam Artur nelangsa.
.
.
.
To be continued
a/n : kenapa Keluarga Bahagia fast up sedangkan yang lain ngaret? Jawabannya... Karena ff ini sudah ada stok draft sedangkan yang lain gak ada, ehe :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bahagia
FanfictionA family Journey, Artur dan Clarisaa beserta Hazel, anak tunggal mereka. Daily Life Mini series Fluffy without konflik! Park couple ft. Taehyung 8th Book; Completed.