03 | Salah Kiko

3.5K 422 46
                                    

Suara batuk dan bersin terdengar jelas dari salah satu kamar; sang pemilik yang di yakini sedang sakit sedang bersandar di dada sang ayah sehabis di cekoki obat oleh bunda nya.

"Buka piyama nya, ayah."

Artur menarik piyama Hazel, Clarisaa lalu membalurkan minyak aroma terapi pada perut, dada dan area tulang selangka sang anak.

"Nanti minum es lagi, yang banyak." ucap Clarisaa. "Jangan mikirin sakitnya, toh siapa yang ngerasain?"

Hazel dengan mata berair dan hidung memerahnya menatap sang bunda yang memasang wajah galak.

"Buna, dingin..."

"Pasti dingin, orang kamu demam." jawab Clarisaa, ia lalu mengambil kaos kaki tidur dan memakaikan ke kaki Hazel. Tak lupa mengganti baju panjang itu dengan kaos dan celana training tipis.

Setelahnya ia mengambil termometer di kotak P3K yang tersimpan di meja Hazel dan menyuruh sang anak membuka mulut, butuh beberapa detik agar benda itu bekerja. Emosinya naik ke ubun-ubun ketika melihat berapa angka yang tertera di sana.

"Tiga puluh sembilan derajat?!" ucapnya tak percaya, Clarisaa lantas melempar termometer itu ke kasur lalu menatap Hazel sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Mau jujur sama bunda kamu minum es berapa banyak?"

"Bun—" Clarisaa melotot pada Artur saat suami nya hendak berbicara, ia tau Artur akan membela Hazel.

Sembari mengusap hidungnya, Hazel menjawab. "S-sedikit." suara yang di keluarkan pun hampir tak terdengar.

"Sedikit? Berati kamu minum es? Suruh siapa minum es? Bunda bilang apa tentang es, Sky?"

Hazel menatap Clarisaa yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang menyilang. "Bukan es, buna. Hatchi! Itu— hiks kiko."

"Minum kiko berapa? Suruh siapa minum kiko? Bunda marah ya. Berapa kali bunda bilang jangan minum yang begituan? Masuk sekolah mulai nakal ya kamu."

"Hiks... Ayah."

"Bagus, sekarang sama ayah ngadunya."

"Bun, nanti lagi marahnya. Anaknya sakit kok di marahin."

Artur sedari tadi memeluk Hazel dari belakang, ia membuka kaos Hazel dan melakukan skin to skin agar suhu tubuh Hazel bisa teraliri padanya.

"Turunan kamu itu, di bilangin susah banget." ucap Clarisaa masih dengan wajah galaknya. Ia mengambil selimut tipis di lemari lalu menyelimuti tubuh anak serta suaminya.

Clarisaa lalu bergabung, memeluk tubuh Hazel dan langsung merasakan bagaimana panasnya tubuh itu. Clarisaa meringis, ia lalu mengompres Hazel dengan handuk yang sudah di basahi air hangat.

Hazel yang tadinya menangis karena merasakan badannya tak enak, jadi berhenti karena nyamannya pelukan kadua orang tuanya. Ia bahkan mengabaikan percakapan Artur dan Clarisaa.

"Besok kalo demamnya nggak turun, kita bawa ke rumah sakit."

Artur mengangguk dengan tangan yang mengusap surai lepek sang anak. "Pasti turun."

Clarisaa harap, pasalnya kalau suhu tubuh Hazel melebihi 40°C, anaknya akan pingsan. Itu sudah sedari kecil terjadi dan hal yang paling ia takutkan, apalagi Hazel sedikit nakal dan sembrono. Sudah tau lambungnya tidak welcome pada es dan sejenisnya, tapi tetap saja di langgar.

Ini jam 8 malam, tapi mereka memutuskan untuk tidur lebih awal menemani anak mereka yang sedang demam.

"Hazel izin tidak mengikuti kelas selama beberapa hari ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hazel izin tidak mengikuti kelas selama beberapa hari ke depan."

"Sorry, Mrs!"

"Ya? Satria?" Mrs. Adel menatap Satria yang mengangkat tangan.

"Hazel izin? Bukannya dia baru masuk sekolah kemarin?"

Mrs. Adel tersenyum lalu menjawab. "Hazel sakit, bundanya udah izin sama Mrs tadi pagi."

Satria mengangguk tak lupa mengucap terimakasih, ia melirik ke belakang dimana Sam tengah duduk.

"Jenguk, kuy?"

"Jangan dulu, kata bang Yugi tetangga nya Hazel bundanya Hazel itu galak kalo Hazel lagi sakit. Jadi nanti aja jenguknya kalo Hazel udah sekolah."

"Yeu~ itu namanya main bukan jenguk."

•••

Sedangkan di tempat lain,

Yang Clarisaa takutkan ternyata terjadi. Pagi buta tadi suhu tubuh Hazel naik melebihi 40°C membuat anaknya tak sadarkan diri. Jam 4 pagi ia dan Artur melesat ke rumah sakit saat menyadari kalau demamnya semakin naik.

Sekarang sudah lebih dari 5 jam dan Hazel sudah siuman, demam nya sudah turun setelah di beri obat dan infus. Artur tak datang ke kantor dan memilih mengecek pekerjaan nya lewat E-mail. Ia duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, sesekali menatap Clarisaa yang sedang menyuapi anak mereka.

"Buna, sup nya hambar."

"Ini sup dari rumah sakit, sayang. Nanti siang bunda bikin bubur ayam. Ayo habisin dulu."

Hazel menggeleng, baru 3 suap makanan itu masuk ke lambung nya tapi perutnya terasa begah. Clarisaa menghela nafas membuat Hazel takut-takut menatap sang bunda. Walaupun bunda nya ini lembut, tapi akan berubah menjadi singa galak ketika ia sakit karena ulah sendiri.

Clarisaa menaruh meja kecil di depan Hazel lalu menyimpan waffle, potongan buah mangga, apel dan pepaya serta susu hangat. Ia juga menyetel kartun Pororo di TV yang tersedia di depan ranjang. Menutupi kepala dan telinga sang anak dengan beanie lalu mengecup keningnya sekilas.

"Bunda mau beli kopi dulu buat ayah."

Hazel mengangguk tanpa melirik Clarisaa dengan tangan kanan yang sudah menggenggam garpu, fokusnya sudah pada Pororo sekarang.

"Ayah, anaknya liatin."

"Iya, bunda. Kopinya Americano yang dingin ya."

Clarisaa mengambil tas selempang dan kunci mobilnya lalu melenggang keluar. "Nggak ada es, ayah."

.

.

.

To be continued

Keluarga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang