09 | Demam

3.3K 372 41
                                    

"Iya, Mrs. untuk hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan Hazel tidak bisa mengikuti kegiatan belajar." Clarisaa berucap pada orang di sebrang sana— wali kelas Hazel. Mendengar jawaban sang wali kelas Clarisaa tersenyum tipis.

"Terimakasih, Mrs." setelahnya ia menutup panggilan telepon, Clarisaa menghampiri Artur yang sedang menggedong Hazel di gendongan koala.

Tadi pagi mereka mendapati Hazel yang demam tinggi membuat mereka panik, sebelumnya kondisi sang anak baik-baik saja, entah apa yang membuatnya demam secara tiba-tiba.
Artur mengusap punggung dan kepala sang anak bergantian, sedangkan Hazel tidur. Clarisaa menyentuh kening Hazel lalu meringis— suhu tubuhnya tak main-main.

"Pindahin ke kasur aja."

"Nangis, tadi udah ayah pindahin."

Clarisaa menghela nafas, Hazel yang sedang sakit memang sangat rewel. Clarisaa beranjak untuk mengambil plester penurun demam sedangkan Artur tetap pada kegiatannya— mengusap kepala Hazel sambil bergumam lembut.

Ia sendiri berada di lantai dasar, tepatnya sedang menatap kolam renang yang di sandingkan dengan taman bunga indah dan sejuk. Ini pukul 8 pagi dan keduanya sibuk dengan Hazel yang sakit. Tak lama Clarisaa datang lalu ia mengangkat lembut kepala sang anak dan melakukan tugasnya.

"Sayang, maaf ya.. Bunda pasang ini dulu biar Hazel enak tidurnya."

Hazel mengerang, tangannya terangkat hendak menyingkirkan tangan sang bunda namun Artur langsung menahan lembut tangan itu. Clarisaa mengukur suhu Hazel dengan menempelkan termometer di telinganya membuat Hazel berontak menangis.

"Ssshh, sebentar abis ini Hazel enak tidurnya." bisik Artur, ia bahkan bisa merasakan hawa panas dari tubuh Hazel yang menyengat tubuhnya.

Saat alat itu berbunyi menampilkan angka 40°C, Clarisaa menarik nafas panjang.

"Bawa ke kamar, bunda mau bawain bubur sama obat." Artur mengangguk, memang seharusnya Hazel langsung meminum obat. Ia takut kalau demam ini parah, pasalnya Hazel demam secara tiba-tiba dan ini langsung tinggi.

•••

"Hiks nggak mau.."

"Sky, satu suapa aja. Abis itu minum obat terus bobo lagi, heum?"

Hazel menggeleng. Wajah dan ujung hidungnya memerah, rambutnya lepek oleh keringat dan wajahnya pucat, suaranya terdengar bergetar dan lirih membuat Clarisaa takut.

"Ayah, gimana ini?" lirih Clarisaa sambil menatap Artur dengan mata berkaca-kaca.

Artur mengusap bahu sang istri menenangkan, ia lalu membalik tubuh Hazel perlahan dan menatap wajah itu. Hazel bahkan tak membuka matanya dan sibuk menangis.

"Hei, Hazel.. Liat ayah coba." Artur mengusap surai Hazel dan menghapus air mata serta keringat sang anak. "Hazel kenapa? Mau apa? Bilang coba sama ayah."

Hazel tetap kekeh menangis dan tak merespon sekitar, Artur lalu mendekap sang anak dan berbisik. "Liat itu bunda nangis, bunda nangis gara-gara Hazel nggak mau minum obat."

Berhasil,

Tangisan Hazel mereda walau enggan membuka mata, isakannya masih terdengar jelas.

"Makan bubur sama obatnya, abis itu Hazel boleh bobo lagi." Clarisaa tersenyum tipis saat sang anak menatapnya, netra jernih itu terlihat sangat sayu. "Makan ya sayang? Sedikit aja."

Hazel tak menjawab dan tetap menatap sang bunda, Clarisaa lantas menyuapkan setengah sendok bubur dan Hazel menerimanya dengan baik membuat kedua orang dewasa itu tersenyum. Tapi hanya 2 sendok setelahnya ia menolak, Clarisaa tetap senang karena Hazel mau makan dan tak lupa menyuapkan obatnya.

Setelah 30 menit akhirnya Artur dan Clarisaa bernafas lega, Hazel sudah tidur lelap di ranjangnya. Clarisaa mengganti selimut tebal Hazel dengan kain tipis. Artur mengecup dahi panas sang anak tak lupa menatapnya sejenak lalu beralih pada Clarisaa yang tengah merebahkan tubuhnya disamping anak mereka.

"Ayah, nafasnya berat." adu Clarisaa yang sedang mengusap dada Hazel dan otomatis mendengar deru nafas itu. Posisinya menyamping dengan tangan kiri yang di jadikan tumpuan kepala dan tangan kanan yang memeluk Hazel.

"Nggak papa, biarin istirahat dulu. Kalo nanti siang masih begini kita ke rumah sakit." jawab Artur, ia lalu melirik jam yang ada dimeja belajar. "Bun, ayah olahraga dulu di bawah."

•••

"Iya, saya gak bisa ke kantor sekarang. Kamu yang pimpin meeting kali ini."

Artur memberi arahan pada sekertaris nya lewat earphone yang terpasang di telinga, ia sendiri sedang berlari santai di atas tretmeal dengan kecepatan sedang.

Artur mengangguk walau orang di sebrang sana tidak melihat. "Hm, taruh berkas yang harus ditanda tangani dimeja saya. Kamu—"

"AYAH!"

Artur menghentikan ucapannya ketika mendengar teriakan Clarisaa. "Saya hubungi lagi nanti." ia mematikan alat itu lalu melepas earphone nya dan melempar ke sofa.

Artur berlari sekencang yang ia bisa, detak jantungnya menggila ketika di daun pintu ia mendengar Clarisaa menangis histeris. Pintu kamar sang anak ia buka dengan kasar, Artur mematung melihat Hazel yang kejang dengan muntahan yang sudah mengotori baju dan selimutnya.

Ia langsung berlari dan mengambil alih tubuh Hazel, mendekapnya erat lalu membisikan kata-kata manis sedangkan Clarisaa menangis hebat dengan tubuh gemetar. Clarisaa memegang tisu yang Artur yakini bekas mengelap muntahan Hazel, baju depan wanita itu terkena noda tapi Clarisaa terlihat acuh.

"Bun, rumah sakit!"

Clarisaa mengikuti langkah lebar Artur. Anak mereka sudah tidak kejang tapi tidak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan Clarisaa terus membisikan kata manis dengan tangisan yang belum berhenti.

Clarisaa takut, kenapa Hazel kejang? Apa ia membuat salah? Tadi anaknya bangun dan muntah secara tiba-tiba, saat Clarisaa akan kembali menidurkan Hazel tapi tubuhnya langsung kejang, tak sadarkan diri.

•••

Di sinilah mereka, berhadapan dengan dokter yang baru selesai memeriksa Hazel. Dokter pria paruh baya itu membaca dengan teliti hasil pemeriksaan sang pasien lalu menatap Artur dan Clarisaa.

"Saya tidak menemukan apa yang salah selain suhu tubuh yang melewati batas normal. Setelah mendapat infus dan obat seharusnya demamnya sudah turun. Dan untuk mengetahui apa yang membuatnya kejang, saya akan melakukan tes EEG saat Hazel bangun nanti."

"Bukan hal serius, kan dokter?"

Sang dokter tersenyum tipis. "Biasanya ini ciri-cici dari epilepsi. Tapi kami belum tau, setelah tes EEG nanti baru bisa kami pastikan apa penyebabnya."

Artur tersenyum, setelah selesai mereka beranjak ke kamar rawat sang anak. Artur menuntun sang istri, pasalnya Clarisaa terlihat masih terguncang.

Pintu kamar rawat itu terbuka, keduanya langsung menghampiri brangkar dimana Hazel tengah tertidur. Satu lilitan perban yang menjaga selang infus membuat Clarisaa menatap sendu, lengan kanan atas Hazel terpasang alat pengukur tekanan darah dan jadi telunjuknya juga berhias pluse oximeter.

Clarissa mengecup kening sang anak lalu menyibak lembut rambut depan yang menutupi pelipisnya. Ia lantas menatap Artur dan kembali menangis.

"Ayah.."

Artur tersenyum memeluk Clarisaa dari belakang. "Nggak papa. Hazel nggak papa, inget kata dokter tadi? Ini demam biasa."

Clarisaa tersenyum saat Artur menghapus air matanya. Dirinya sendiri masih takut. Artur lalu membawa Clarisaa untuk bebersih di kamar mandi yang terdapat di dalam kamar rawat.

.

.

.

To be continued

a/n : Sya sama Taehyung sama V lagi otewe ya guys, tunggu aja dan kalo lama mungkin mereka kejebak macet xixi

Keluarga BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang