02 || ᴮᴬᴮᴬᴷ ᴷᴱᴰᵁᴬ

120 30 5
                                    

oleh  S h a n d y

oleh  S h a n d y

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lelaki berpakaian kemeja garis-garis dengan celana bahan tersebut mengernyit begitu mendorong pintu kaca kafetaria seberang kantornya. Kontan ia menaungi matanya yang mulai menyesuaikan dengan cahaya terik matahari pukul tujuh. Sebelum menyebrang, ia membenahi tas kerja yang ia bawa dan mengecek segala macam isinya.

"Dompet, udah. Laptop, ID Card, dan berkas. All correct!"

Shandy tahu, pekerjaannya ini tak lebih 'banyak menghasilkan' dibandingkan dengan milik adik-adiknya. Dan di ambang usianya juga membuatnya ingin beralih profesi karena tidak betah atau karena tekanan kuat dari atasan. Namun, pemikirannya tidak sependek itu. Masih banyak tanggungan besar, masih banyak kebutuhan lain, dan masih berceceran pula keinginan-keinginan yang belum mampu ia gapai di dalam daftar kehidupannya. Satu-satunya yang dapat memenuhi hanyalah uang. Uang pembuka segala jalan.

Langkah kakinya ia percepat, sebelum akhirnya bahu tegapnya bersinggungan keras dengan perempuan berambut ikal cokelat di persimpangan jalan.

"Eh, maaf!"

Dan, kertas-kertas yang dipegang gadis itu bertebaran di jalur pedestrian, membuatnya kalang kabut dan langsung memberesi dengan segera. Shandy tak tinggal diam, ia ikut berjongkok seraya memunguti selebaran berwarna biru pastel tersebut.

"No, it's okay. Gue bantuin."

Gadis itu tersenyum tipis dan menundukkan kepala, ia enggan menampilkan wajah menawannya kepada orang asing. Jujur, ia tak berniat untuk membuat keteledoran yang diperbuat semakin menjadi. Kala ia ingin mengambil kertas ke sisi kanan, Shandy juga mengikuti pergerakannya ke sisi kiri. Dahi keduanya terantuk, sama-sama meninggalkan nyeri samar dan pekik kesakitan.

"Aww!" rintih gadis itu dengan cepat mengusap dahi. Ternyata jika poninya disibak lebih lebar, terdapat plester yang tertempel di sana.

Shandy tak enak hati dan langsung memeriksa dahi si perempuan. "Eh? Maaf! Aduh, itu jidat lo luka? Maaf banget gue nggak tahu."

Matanya mengerling paham. "Enggak apa-apa kok, Kak. Ini cuma baret dikit."

Keduanya berdiri. Barulah mereka dapat melihat profil wajah masing-masing dengan jelas dan genggamannya terhadap kertas kian mengencang. Wajahnya dihiasi kepanikan ketika menatap lelaki asing berambut cokelat di hadapannya.

"Eh, jangan panggil gue, Kak. Gue—"

"Maaf, aku harus pergi. Permisi."

Jerat-Jerat yang Tersuar Belum Tentu TersiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang