✧° || ᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴋᴀꜱɪʜ, ʏᴀ?

123 21 4
                                    

Anggap saja ini epilog, meskipun tidak ada prolog.
Selamat membaca♡

✧°

Keesokan harinya, tepat setelah 7 hari kehilangan sang Bunda, mereka memutuskan untuk datang ke toko bunga milik Bunda. Pelang 'Rekah Bunga Florist' menyambut ketika seluruh pasang mata itu mendongak, mengamati beberapa burung yang bertengger manis di sana.

Cukup sederhana, namun menenangkan.

Sudah semenjak kapan Shandy tidak melihat tempat ini? Ia hampir lupa, bahkan kemarin-kemarin pemikirannya hanya kalut digeluti oleh berkas atau dokumen dari kantornya. Seharusnya, ia bersyukur kala dipromosikan untuk naik jabatan dan memegang beberapa kendali perusahaan. Tapi tidak dengan Shandy, lelaki itu tidak benar-benar mencintai pekerjaannya yang sekarang. Ia merasa tidak 'hidup' sepenuhnya.

Ia memutar kenop pintu setelah berhasil memasukkan kunci ke dalamnya. Dua belah pintu kaca transparan itu terbuka lebar, mendorong delapan dari seluruhnya untuk masuk ke ruangan dengan aroma wangi bunga menguar.

Bunda benar-benar pandai merawat tempat ini menjadi taman bunga yang indah, pikirnya.

Zweitson melangkahkan kakinya menuju papan kecil yang didirikan di samping meja kasir. Papan serupa papan tulis mini itu masih kosong dan ia berniat menuliskan sesuatu di sana. Sedetik sebelum Zweitson menggores kapur, bahunya ditepuk pelan.

"Bunda biasanya nulis kalimat motivasi di situ, Son."

Fenly membuka suara, pun akhirnya ikut berjongkok di samping Zweitson yang menganggukkan kepalanya paham. Ia memulai menulis sesuatu di sana ditemani Fenly. "Lo paham banget ya toko bunga punya Bunda?"

"Saking pahamnya ... sampe Bunda enggak ke toko bunga gue malah ke toko bunga," katanya berkelakar. Lelaki berkacamata tersebut juga menimpali tawa kecilnya.

Di sisi lain, dua lelaki tengah menyibak beberapa korden ruangan dan membuka jendela. Jelas Fiki dan Gilang merindukan tempat ini. Kesibukan mereka masing-masing sebagai jurnalis dan pengembang ide perusahaan membuat kata sibuk menjadi pelengkap hidup sehari-hari.

"Bunda keren banget ya, Fik. Toko bunga sebesar ini malah ditangani sendiri." Gilang berbicara di dekat jendela satu; Fiki mengangguk di jendela seberang, kembali menyibak korden berwarna krem pada pengaitnya.

"Gue sampe nggak sadar kalau di toko bunga ini banyak yang berubah. Tapi, ada satu yang enggak pernah berubah di sini ... yaitu kenyamanannya, Lang. Bunda bener-bener hebat!"

Gilang tersenyum lebar menanggapinya. "Hmm, setuju."

"AJI! BANTUIN GUE SAMA RICKY ANGKATIN BUNGA DONG!"

Teriakan itu membuat seluruh manusia di sana memberhentikan kegiatannya sejenak lalu menoleh ke luar. Benar saja, stok bunga aneka warna yang segar dan baru saja dipanen dari kebun ada di sana. Dua lelaki itu mengangkat beberapa wadah anyaman kayu besar untuk digiring ke dalam. Lelaki berkemeja outer kotak-kotak itu segera membantu menghampiri.

"Oke, Aji meluncur ke sana!"

Yang lainnya berhasil tertawa melihat cara berlari Aji yang mirip seperti anak kecil yang sedang bermain di taman. Suasana ini sudah lama tidak mereka rasakan. Tersenyum bersama, bahagia bersama, tertawa bersama, dan kebersamaan-kebersamaan lain yang mungkin saja dalam waktu dekat akan mereka raup dengan bahagia.

"Noh kelakuan abang lo, Fen," goda Zweitson kegirangan, ia telah selesai menulis di papan dan menepuk-nepuk tangannya yang berselimut sisa kapur.

Fenly menoyor pelan kepala lawan bicaranya. "Abang lo abang gue juga kalo perlu gue ingatkan."

Jerat-Jerat yang Tersuar Belum Tentu TersiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang