oleh F i k i
Permen kapas yang terhempas ke tanah membuat reda tangis bocah kecil berumur sekitar 5 tahun di sekitar taman komplek sebuah perumahan itu kembali pecah. Raungannya kian keras kala kerumunan manusia sebayanya sejumlah 7 orang menepuk-nepuk bahu lantas menenangkan. Salah satunya berkata kalau Iki bisa tenang, Wicon akan membelikannya permen kapas yang lebih banyak dari yang Iki beli. Bocah berpipi gembil itu tak menghiraukan, bahkan sekarang isakannya yang keras membuat teman-temannya ingin menutup telinga karena terlalu pengang.
Mereka tak tahu saja, bocah itu bukan menangisi kembang gulanya yang terjatuh, melainkan pandangannya langsung teralih dan berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat sudut taman. Sepasang lelaki dan perempuan melambai ke arahnya dengan senyum simpul setenang air pantai kala masa surut tiba.
"Iki, ayo pulang aja! Pasti Bunda Elena nyariin kita semua!" ajak salah satunya yang berambut keriting.
Bocah itu masih tersedu-sedu. Netranya menangkap sepasang sosok itu lagi, masih dengan posisi yang sama yaitu terus melambaikan tangan. Seakan menjadi sebuah tanda ajakan, lelaki kecil berponi itu mulai berlari ke seberang taman untuk menjemput dua sumber bahagianya. Mama dan Papanya.
Teriakan 7 temannya pun tak ia hiraukan, justru langkahnya makin cepat ketika sandal model lama yang ia pakai terus beradu dengan rumput peking taman yang hijau segar. Sambil menangis, tak pernah berhenti ia derapkan langkah kaki tersebut hingga akhirnya berhenti seketika.
Dua sosok itu menghilang. Perlahan lebur menjadi bayangan samar dalam pandangannya.
"MAMA! PAPA!"
Rasanya, ekspektasi menghantamnya tiba-tiba dengan keras. Ia tak pernah terima kalau kedua orang tuanya telah pergi di malam pergantian tahun silam. Semenjak saat itu, ia tak pernah menganggap kalau kejadian itu adalah kejadian nyata. Selalu menganggap hanya sebuah mimpi buruk belaka hingga angan-angan yang ia ciptakan berkembang besar kendati ia hanya bocah berumur 5 tahun.
Ia hanya mau dunianya kembali seperti sedia kala. Ia mau kedua orang tuanya kembali. Ia rindu dekapan hangat dengan aroma vanila dan cokelat yang khas. Ia mau semuanya. Ia mau keadaan yang semula.
✧
Biasanya, kalau rintik hujan yang jatuh ke tanah selalu dinanti-nanti banyak orang, bukan? Bagi Fiki, hal itu tidak berlaku demikian. Malahan, segala sesuatu yang berkaitan dengan hujan selalu ia umpati dalam hati. Hujan, merenggut banyak kebahagiaannya di masa kecil. Hujan, selalu ia analogikan sebagai tangisan langit yang mengabu legam. Dan hujan, membuat banyak orang kelimpungan dan mendapat musibah. Entah seperti orang-orang yang terjebak derasnya di kala perjalanan saat mengendarai kendaraan bermotor atau misalnya seseorang yang sedang memiliki hajat besar lalu tiba-tiba dengan seenaknya rintik-rintik itu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat-Jerat yang Tersuar Belum Tentu Tersiar
Fanfic[TAMAT] Melalui tulisan ini, tiap-tiap insan akan menjatuhkan kalimat panjang tentang ia dan juga manusia sekitarnya. Direngkuh oleh delapan babak, fase pertama hingga fase terakhir akan menghajar--mungkin menampar ulang-alik sepasang pipi yang tak...