03 || ᴮᴬᴮᴬᴷ ᴷᴱᵀᴵᴳᴬ

116 30 4
                                    

oleh  F a r h a n

Harusnya Farhan sadar, jadi yang tertua bukan berarti melulu menjadi yang terkuat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harusnya Farhan sadar, jadi yang tertua bukan berarti melulu menjadi yang terkuat. Sejak pukul 1 dini hari, tak pernah henti ia usap kedua matanya yang mengalirkan air mata sendu dengan mulut terbungkam. Ia harus mampu menahan suara tangis yang sejak satu jam lalu ia keluarkan. Pasalnya, ia tidur seranjang dengan Fenly yang mana lelaki itu terlalu peka kalau ada pergerakan yang berarti di kasur.

Perlahan, Farhan beranjak ke arah jendela kamar dan membukanya. Embusan angin sejuk atau lebih tepatnya mengarah ke dingin mulai menusuk kulitnya yang hanya dibalut kaus tipis. Ia mendongak, mengamati langit yang bertabur kelap-kelip cahaya bintang dengan berurai air mata. Menjadi dewasa tidaklah mudah, Farhan merasakannya sendiri. Semakin banyak ia mendapat cerita-cerita dari 7 adiknya, semakin banyak energi dalam diri yang terserap hebat. Ia harus kuat bahkan dalam keadaan lemah sekalipun.

Sering kali Bundanya bilang, jadi abang harus bisa mengayomi adik-adiknya. Kamu adalah orang yang paling mereka segani dan selalu dijadikan tauladan bagi mereka. Farhan harus jadi kakak yang terkuat, ya?

Farhan jelas mengiyakan dalam ucapan, lain halnya dengan hati yang berkata kalau ia menolak dengan tegas harus jadi yang terkuat. Farhan tidak sekuat kenyataannya. Ia sering banyak mendengar, mendengar, dan mendengar tanpa pernah didengar. Ia sering juga menjadi bahu sandaran saat ia sendiri butuh penyangga. Belum usai di situ, lelaki berambut keriting tersebut tak pernah lupa satu hal tentang latar belakang dirinya hingga sampai di sini. Bersatu dan hidup bersama banyak orang awalnya memberikan bayangan mengerikan ketika Maminya memberi pesan terakhir di ruangan bercat putih berpuluh tahun silam.

Memanggil memori kelam itu semakin membuatnya menangis keras dalam diam, dadanya sesak hingga pandangan pada langit memburam. Tangisnya pecah dengan puncak emosi paling tinggi. Ia marah pada dirinya sendiri, ia juga kecewa kala banyak orang yang menaruh harap besar dan menjadikannya sebagai si semat paling kuat. Kendati luka lama tentang sang Mami telah lama tertoreh pada lembar memori, rasanya ia masih mengingat betul bagaimana wanita itu mengembuskan napas terakhirnya serta dikelilingi alat-alat medis yang sering Farhan anggap hanya guyonan belaka.

Sejak itu, Maminya kalah bertaruh. Maminya menyerahkan dirinya pada Yang Maha Pemberi Penghidupan. Sedangkan Farhan yang berusia 5 tahun ke atas hanya mampu terpaku tanpa ekspresi dalam dekapan Elena.

Ia harap, Maminya tersenyum di atas sana. Farhan harap Maminya menyukai tempat barunya, rumah yang abadi tak lekang oleh masa. Semoga, kelak Farhan dapat berkumpul dengan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya tersebut disertai senyum lebar tanpa kesedihan.

"Mami, I miss you so bad," bisiknya pada udara yang tertiup tenang melewati jendela. Tangisnya meredam, senyumnya perlahan terbit kembali.

Jerat-Jerat yang Tersuar Belum Tentu TersiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang