oleh F a j r i
Menatap belasan polaroid cetak yang tergantung pada talinya, ia tersenyum tipis seraya mengawang. Potret-potret yang menangkap memori masa lalu membuatnya sadar kini lini masa membawanya ke rumah hangat ini. Wajah segar terpandang, mengekspos satu per satu deret peristiwa manis tentangnya, Fajri, dengan ketujuh saudaranya.
Sudah pasti ia tak akan pernah menyesal dengan takdir yang telah Tuhan tetapkan di jalan ini. Jalan setapak dengan sedikit genangan air di taman depan rumah mengingatkannya pada kejadian gila siang itu.
Ayah dan Bundanya berpisah saat hujan turun di langit yang terik. Ia kira ia sedang bermimpi. Tapi Tuhan menjawab kalimat tanyanya saat itu juga, semua adalah kisah nyata.
Empat tahun bukanlah usia yang terbilang muda sekali, namun tidak dapat dikatakan lebih tua dari manusia yang baru dapat berjalan memijak tanah bumi. Saling berteriak dengan nada tinggi dengan wajah memerah di halte hijau membuat Fajri tak tahan. Ia berlari sejauh mungkin - lebih tepatnya kabur tak tentu arah - sambil menangis tersedu-sedu. Kaus bergambar kartun kesukaannya basah dilapisi air mata yang mulai banjir.
Entah mendapat dorongan dari mana, Fajri lari begitu saja hingga ia mendapatkan kerumunan di pedestrian beraneka ragam barang. Pasar kecil, pikirnya. Terlihat, seluruh pedagang membereskan kios-kios seraya meneduhkan badan yang tempias air hujan.
Semua orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusannya sendiri, hingga tidak sadar Fajri tehimpit sana-sini dengan derai tangis yang makin ikut deras seiring hujan turun.
Ia tak tahu berada di mana. Ia menghilang. Ia tak punya keluarga. Niatnya, ia ingin mencari ketenangan setelah mendengar adu mulut yang tidak ia paham topiknya dari kedua orang tua. Namun nahas, ia malah makin kehilangan arah yang menjadi tujuannya sekarang karena di sini juga ramai.
Dan singkat cerita, Elena, seorang ibu muda baik hati menolongnya. Hingga saat ini. Bak ditolong ibu peri, Fajri mengiyakan dekapan Elena yang hangat lalu bergabung di rumah sederhana di sini. Iya, rumahnya sekarang.
Tanpa sadar, setetes air mata jatuh tepat di meja belajar yang ia tempati. Fajri tidak mau mengingatnya lagi. Keputusan yang sejak dini ia ambil mungkin terlampau menyakitkan dan membekas di hati hingga menyublim menjadi luka batin. Namun, nyatanya kini, ia telah dewasa dan meninggalkan seluruh kenangan buruk tentang itu. Meski waktu itu masih kanak-kanak, ia tidak menyesal pergi dari kedua orang tua yang tidak pernah mengharapkannya.
"Aji, di kamar?"
Suara lembut lelaki tersebut menyadarkan Fajri. Segera, ia menghapus jejak air mata di pipinya lalu menoleh sebentar. Menarik napas dan membuangnya, kembali tersenyum.
"Iya!"
"Boleh masuk?"
"Masuk aja."
Pintu terkuak, rambut kecokelatan khas miliknya terlihat disisir natural dengan jemari putihnya. "Ayo makan, Bunda sama yang lainnya udah nungguin di meja makan, Ji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat-Jerat yang Tersuar Belum Tentu Tersiar
Fanfiction[TAMAT] Melalui tulisan ini, tiap-tiap insan akan menjatuhkan kalimat panjang tentang ia dan juga manusia sekitarnya. Direngkuh oleh delapan babak, fase pertama hingga fase terakhir akan menghajar--mungkin menampar ulang-alik sepasang pipi yang tak...