Bella mendengar bunyi nyaring dari dalam rumah dan ia memejamkan mata sesaat sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Wanita itu menatap pemandangan di depannya datar saat barang-barang berserekan di lantai.
Piring pecah, cangkir dan teko yang terbelah dua dan menjadi serpihan menjadi pemandangan yang Bella lihat setiap hari.
Ayahnya, sang Viscount memutuskan kalau mengoleksi barang antik adalah hobi yang umum jadi ia memilih hobi baru. Dan hobi barunya ini dimulai... Hmmm Bella mencoba mengingatnya dan mengangguk masyul.
Ah benar. Hobinya dimulai sejak Lucy dan Sebastian resmi menikah. Dan hobi tersebut semakin beranak pinak. Bella menginjak pecahan barang tersebut di atas sepatu saat ayahnya menatap Bella yang baru saja kembali.
Sang Viscount menunggu hingga putrinya berada cukup dekat dalam jangkauan tangannya sebelum ia melayangkan sebelah tangan ke atas dan mendaratkannya di pipi Bella hingga berwarna merah.
Wajah Bella terlempar ke samping dan pelayan menundukkan kepala ke bawah seakan tak melihatnya. Viscountess yang mendengar keributan tersebut sibuk menghembuskan nafas kesal sambil memainkan cincinnya.
Bella menghembuskan nafas dalam dan menatap ayahnya tenang. "Apa lagi alasannya?"
Ayahnya kembali menampar Bella dan kali ini Bella menatapnya galak saat menekankan kan tangannya di wajah. "Ku tanya, apa lagi salahku kali ini?"
"Kau tak tahu?" Ayahnya mengerutkan dahi dan menudingkan jarinya keluar dengan mata membelalakkan lebar penuh amarah. "Kau membuang kesempatanmu menjadi seorang Ratu! Ratu!"
Bella mulai muak dengan rengekan ayahnya yang kekanak-kanakan. Wajahnya kaku karna emosi dan ia mengulum mulutnya. "Kalau ayah sangat menginginkan posisi itu, kenapa bukan ayah saja yang menikahi Sebastian?"
Pertanyaan tersebut menghasilkan tamparan lebih keras dari Viscount dan kali ini sudut bibir Bella berdarah. Wanita itu mengusap darah disana dengan tangannya dan menatap noda merah tersebut saat tersenyum pahit.
Ayahnya sama sekali tak merasa bersalah telah melukai putrinya dan ia justru menatap Bella sebagai musuh bebuyutan yang menghancurkan hidupnya. Ia berkacak pinggang dan menyipitkan matanya.
"Kalau kau bukan putriku, aku sudah membuangmu. Kau harusnya bersyukur aku masih mau menampungmu setelah kekacauan yang kau buat."
"Yah? Aku berterima kasih atas penawaranmu yang baik hati." Bella melangkah melewati ayahnya dan menatap ibunya yang berdiri di tangga dan menyaksikan itu semua saat menggelengkan kepalanya.
"Lain kali sayangku, gunakan wajahmu alih-alih otakmu. Aku menjadikanmu wanita tercantik dan bukan wanita terbodoh."
Bella balas menatap ibunya skeptis. Ia tak bisa menampik itu, ibunya memang terlahir dengan wajah rupawan dan sayangnya, ia lebih mencintai kecantikan daripada putrinya sendiri.
Ia bahkan mengaku kepada Bella terang-terangan kalau ia hanya berencana memiliki satu anak karna takut bentuk tubuhnya akan berubah.
"Aku akan menurutinya, lain kali." Bella masuk ke dalam kamar, menguncinya dan membuang sarung tangan bernoda darah di lantai.
Wanita itu menarik lepas hiasan rambut dan membantingnya saat ia menatap cermin. Bella menutup cermin tersebut dengan kain dan memejamkan mata.
Semua orang mengatakan kalau Bella lahir dengan keberuntungan. Tapi baginya ini adalah kesialan.
Saat pertama kali sang Viscount memukul putrinya, Bella terlalu terkejut sehingga hanya bisa menatap ayahnya kosong. Ia mengusap pipinya yang sakit dan terasa panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss me Bella
Non-FictionBella White, wanita tercantik di London, terpaku menatap seorang pria yang baru saja masuk ke ruangan pesta tersebut. Tangannya yang terlindung sarung tangan meremas erat gaun peraknya. Bola mata yang bersinar cantik berubah pucat sementara bibirnya...