Ruangan kerja Sebastian dulunya diisi oleh buku, barang antik, senjata dan beberapa benda unik lainnya. Tapi sejak Luciana menjadi istrinya, wanita itu memutuskan untuk membuat tempat ini sedikit lebih berwarna.
Tirai kelambu gelap diganti warna putih, buku membosankan tetap ada tapi diselingi buku lain seperti misalnya buku anak. Senjata di taruh di atas dan meja hias diisi ukiran kaca unik.
Sofanya diganti yang lebih rendah agar sesuai dengan tinggi badan Luciana. Dan karna kehamilannya, pelayan juga memastikan agar semua barang yang mudah pecah, benda tajam atau berat, dipindahkan ke Istana.
Diam-diam Sebastian menarik keluar botol whiskey dari balik meja dan mengambil dua gelas saat menuangkan isinya.
"Aku tak tahu kalau kalian sedekat itu," ujar Sebastian memulai percakapan.
"Siapa?" Weels yang sedang mengambil salah satu buku menatapnya sambil lalu.
"Miss White," jawabnya enteng saat melirik ke depan. "Dan jangan bilang aku salah Weels. Tatapan matamu saat ini sama seperti saat aku menatap Lucy."
Weels memilih menatapnya polos. "Bisa kau jelaskan apa maksudmu? Aku sama sekali tak paham."
Sebastian menarik alis tinggi melihat temannya yang memainkan akting polos miliknya. Tapi ia memilih mengikuti permainan ini. "Kau benar. Mungkin aku yang salah mengartikan situasinya." Lelaki itu tampak memikirkan kalimat selanjutnya dengan penuh pertimbangan.
"Karna kau tidak tertarik padanya, aku berencana mengenalkan beberapa pria lajang padanya."
Sinar mata Weels berubah waspada untuk sesaat sebelum lelaki itu menampilkan senyum santai miliknya saat mengendikkan bahu. "Maka lakukanlah. Kenapa kau mengatakan itu padaku?"
"Karna aku membutuhkan saranmu?" tanyanya balik dengan tawa masyul. "Kau mengenal banyak pria lajang, dan aku yakin di antara mereka semua kau pasti tahu siapa yang terbaik untuk Miss White."
Weels menghembuskan nafasnya kasar. Memikirkan wanita itu tersenyum pada pria lain membuatnya jengkel. "Aku memang mengenal banyak orang tapi kurasa tak satupun dari mereka pantas dengan Miss White."
Sebastian masih tetap menatapnya polos. "Kau benar. Karna itu bagaimana kalau Collin's?"
"Apa?"
"Collin's. Dia mapan, lajang dan memiliki gelar bangsawan. Etiketnya sempurna tanpa celah, begitu juga dengan Miss White. Aku yakin mereka akan cocok."
Sebastian menatap raut wajah Weels yang kosong dan lelaki itu memilih mengakhiri permainan ini saat menggelengkan kepalanya putus asa. "Weels, akui saja kalau kau memang menaruh minat padanya."
Weels terdiam lama saat memainkan buku di tangan dan mengelus bagian samping bukunya. Lambat setelahnya, ia membuka mulut enggan. "Kau bisa bilang begitu."
"Apa yang terjadi selama aku di Istana?"
"Tak ada."
"Dan babi bisa terbang," Sebastian mengangguk dan menyodorkan salah satu gelas ke depan sewaktu menegak gelasnya sendiri. "Katakan kebohonganmu pada siapapun."
Weels mendekat, mengambil gelas dan menghabiskannya dalam sekali teguk sewaktu membalas pandangan Sebastian. "Baiklah. Aku memang menginginkannya tapi dia tidak. Apa kau puas?"
Sebastian tertawa puas hingga kepalanya terdongak ke belakang. "Sejak kapan?"
Sejak kapan? pikir Weels sewaktu menuang whiskey ke gelas dan memainkan isinya. Ia tak tahu kapan tepatnya, tapi tiba-tiba saja ia selalu dikuasai gairah yang amat besar setiap kali ia melihat Bella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss me Bella
Non-FictionBella White, wanita tercantik di London, terpaku menatap seorang pria yang baru saja masuk ke ruangan pesta tersebut. Tangannya yang terlindung sarung tangan meremas erat gaun peraknya. Bola mata yang bersinar cantik berubah pucat sementara bibirnya...