17

705 98 5
                                    

"Ian, jangan lupa siang ini, abis dzuhur, kamu fitting baju sama Alletta." Ucap Jaena saat tengah meletakkan piring berisi nasi goreng buatannya di hadapan Darka.

Mereka, Jaena, Yuan, Ibra dan Darka tengah sarapan bersama saat ini, sedangkan Naura di kamar, tengah menyusui baby Gibran, setelah selesai, baru ia akan keluar dan menyusul ke meja makan.

Darka mengangguk, mengiyakan, "Iya. Ian inget, Mi.." Ucapnya sembari menyuapkan nasi ke dalam mulutnya setelah berdo'a dalam hati.

Sudah hampir sebulan setelah acara lamaran hari itu, mereka mulai mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan Darka dan Alle.

Jaena dan Dara lah yang paling sibuk mencari segala halnya, bulak-balik sana-sini untuk memastikan semuanya sesuai dengan keinginan calon pengantinnya.

"Nanti sekalian cari-cari souvenir, ya? Jumlahnya belakangan aja, yang penting barangnya dulu. Ajak aja adiknya Al, siapa namanya?" Tanya Jaena sembari duduk di kursinya.

"Zihan.." Sahut Ibra, setelah meneguk air minumnya.

"Iya, dia. Biar nggak berduaan aja kalian."

Ucapan sang ibu ditanggapi tawa oleh semua yang ada di meja makan saat ini.

Tidak lama sampai Naura datang bersama Gibran di gendongannya, "Selamat pagi, semuanya..." Sapanya dengan nada anak kecil, ia melambaikan tangan Gibran pada mereka semua seolah Gibranlah yang menyapa.

"Pagi cucunya Oma.. Udah nyusunya, sayang?" Tanya Jaena.

"Udah, Oma.." Jawab Naura, masih dengan nada anak kecilnya.

"Sini sama Abi, kamu makan dulu, By." Titah Ibra, mengambil alih Gibran dari Naura.

"Hehe, iyaa.. Makasih, Abi sayang.." Balas Naura, mengecup kilat pipi Ibra.

Darka, Jaena dan Yuan hanya tersenyum hangat melihatnya. Di keluarga ini, memberi afeksi sederhana di hadapan keluarga yang lain, seperti yang dilakukan oleh Naura dan Ibra tadi, sudah sangat biasa. Tidak perlu heran atau kaget lagi. Tinggal Darka saja yang belum punya gandengan untuk saling berbagi afeksi.

Yuan memperhatikan Darka yang asik menggoda Gibran yang ada di gendongan Ibra. Padahal tidur anaknya.

"Tuh, Yan. Lucu, 'kan? Kamu nggak mau punya satu?" Tanya Yuan, meledek anak tengahnya.

"Ya ini 'kan lagi menuju proses, Pi.. Sabar, dong.. Nanti sekali main langsung jadi, deh. Do'ain aja."

"Heh! Nggak baik ngomongin gituan di depan makanan. Macem-macem aja kalian." Tegur Jaena, mencubit lengan sang suami yang langsung mengaduh pelan, dan mengusap-usap lengannya yang dicubit sang istri barusan.

Yang lain terkekeh mendengarnya, "Kemarin aku nemenin Tata ke Dokter, cek kesehatan sama kesuburan gitu, bareng sama Ria juga. Subur kok dia." Sahut Naura, dengan mata yang terus menatap Gibran dan Ibra bergantian.

"Tuh, kamu juga periksa, Yan. Gausah gengsi, periksa itu tuh perlu, biar kamu tahu. Sehat nggak kamu, subur nggak kamu." Nasehat Jaena.

"Ya tau. Gengsi juga buat apa, orang demi diri sendiri juga, kok. Nanti aku cari waktu luangnya, deh. Mami yang anter, ya?" Pinta Darka.

Jaena mengangguk, mengiyakan permintaan anak tengahnya, "Boleh. Kasih tau aja waktunya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang