Queen sized bed, tak senyaman itu.
Hidup di atap yang sama dengan seorang pria berstatus suami, tak menjamin kebahagiaan.
Rose masih hidup, tapi rasa nya telah mati.
Malam itu Rose menghabiskan waktunya dengan berpikir, ia harus mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.
Dan untuk saat ini, ia tak bisa percaya pada siapa pun, bahkan orang tua nya sendiri, oh ya, orang tua Rose yang Jaehyun kira sudah meninggal.
Bukan kesalahan Jaehyun, Rose lah yang berbohong bahwa orang tua nya telah meninggal agar Jaehyun tak dapat menyusulnya ke Pulau Kera.
Namun nyata nya, orang tua wanita itu sendiri tampak tidak peduli dengan keberadaan Rose ataupun cucu nya.
Mengenaskan.
Jika dipikir, mengapa Rose bisa terjatuh dalam perangkap Jaehyun kala itu? Ah, pasti lah ia terbuai rayuan nya.
Dan bahkan sempat membuat heboh komunitas feminisnya karena ia memutuskan untuk menikah. Dahulu, wanita itu lah yang berteriak paling keras untuk melawan patriarki dan keseteraan gender.
Sedih hati nya saat apa yang ia gaung kan kala itu kini justru bertolak belakang pada kehidupan nya. Ia menikah dengan seorang pria yang berpikir kolot dan aneh, pengekang dan diktator.
Jaehyun selalu membentak jika Rose mengerjakan pekerjaan rumah dengan dalih bahwa mereka memiliki ART, tapi apakah tidak boleh Rose melakukan pekerjaan rumah yang berhubungan dengan keluarganya sendiri?
Mencuci baju anak-anak saja ia dilarang.
Rose sungguh tak paham.
Jika Rose hanya perlu bersolek seperti apa yang Jaehyun katakan bukan kah ia tak ada beda nya dengan pelacur yang menunggu tuan nya?
Ia menyetujui pernikahan itu agar ia dapat menjadi seorang ibu rumah tangga yang juga sukses berkarir, sesuai impian nya.
Sukses berkarir tidak, menjadi ibu rumah tangga pun juga tidak.
Jaehyun sungguh keterlaluan.
*****
Di kamar utama rumah besar itu, sang tuan rumah juga tidak dapat tidur. Dalam sunyi ia memandangi sebuah lembar kertas di tangan nya.
Surat perceraian.
Rose pernah mengajukan surat itu ke pengadilan sebelum ia pergi kabur bersama anak-anak nya.
Dan tentu saja Jaehyun tidak bisa menerima hal tersebut, ia pun segera memerintahkan orang untuk mencegah perceraian itu terjadi. Ya, orang itu adalah Taeyong.
"Kenapa kamu ingin berpisah, Rose? Bukan kah aku cukup sempurna?" gumam pria itu.
Seusai bergumam demikian, potongan memori saat ia memukul Rose terlintas di kepala nya, menusuk-nusuk dengan begitu sakit.
Jaehyun mencengkram kepala nya kesakitan, nafas nya tidak beraturan tersengal-sengal, jantung nya berdebar.
Tidak, tolong jangan lagi.
Jaehyun ingin tenang untuk malam ini.
Namun kepala nya terasa amat pusing sampai-sampai surat perceraian itu ia remas dan lempar menjauh.
"It's okay, Jaehyun! It's okay!"
Memori tadi pagi saat Rose menitikkan air mata di hadapannya terlintas kembali, Jaehyun mengerjapkan mata nya.
I am such a monster.
Jaehyun berteriak dan memukul-mukul tempat tidur penuh amarah, nafas masih tidak beraturan. Ruangan yang cukup sejuk kini terasa panas, Jaehyun terbakar emosi.
Tangan pria itu terulur hendak mengambil vas bunga, tetapi otak pria itu menahan pergerakan nya, Jaehyun tidak mau melempar vas bunga itu.
Jaehyun tidak mau membuat kegaduhanㅡ
"SIAL!!!!!"
Pria itu berteriak keras dan melempar vas bunga itu ke ujung ruangan, membuat bunyi pecahan yang keras.
Si tuan yang kata nya punya-segala-nya ternyata memiliki satu hal yang tak ia punya.
Kebahagiaan, ia tak punya.
*****
Jennie kini tinggal di Kupang karena ia merasa kasihan dengan Nino dan Ilo, jika di Pulau Kera saat ia bekerja tidak ada yang bisa mengawasi mereka.
Namun di Kupang, Jennie bisa menitipkan kedua nya pada sebuah day care sekaligus penitipan anak, Jennie akan mengantar mereka pagi-pagi sebelum ia berangkat ke Pulau Kera dan menjemput mereka nyaris malam hari saat ia pulang.
Untuk masalah pembayaran, jujur saja ia tak menerima sepeser uang pun dari Rose, tetapi ia juga mengerti kondisi sahabat nya itu. Lagi pula, Jennie masih lajang, gaji yang ia terima cukup berlebih untuk memenuhi kebutuhan nya.
"Jen, malam sekali? Nino dan Ilo sampai tertidur," ucap Johnny ㅡ pemilik day care sekaligus penitipan anak tersebut, iya, sebuah bisnis tak lazim untuk seorang pemuda berusia 33 tahun.
Tapi jika ditilik, rupa nya bisnis tersebut adalah bisnis warisan dari sang ibu dan Johnny tidak bisa melimpah kan peninggalan mendiang ibu nya pada orang lain.
"Ah, iya maaf, tadi aku harus mengurus pasien persalinan, kasihan tadi ibu nya hampir tidak selamat," jelas Jennie.
Johnny tersenyum kemudian mengusap pucuk kepala Jennie, "pasti capek, mau dibuatkan teh gak, Bu Dokter?"
Dan tentu saja tindakan pria itu segera membuat hati Jennie porak poranda.
"Johnny, kamu beneran gak mau nikah sama aku?" tanya Jennie.
Pemuda itu menatap Jennie dan terdiam.
"Sebelum aku terima pinangan pria lain. I mean, aku sudah 32 tahun, aku lajang begitu pun kamu, gak ada salahnya untuk kita bersama kan?" lanjut Jennie.
Pria itu mengangkat tangan untuk melihat arloji nya, "astaga, sudah hampir jam 11, aku antar pulang yaㅡ"
"Johnny, please, berhenti menghindar."
Lagi dan lagi, Johnny mengusap pucuk kepala Jennie dan berucap, "Nino dan Ilo biar tidur sini, ada care taker yang jaga, ayo, aku antar kamu pulang."
Dan pria itu berlalu meninggalkan Jennie menuju mobil nya yang terparkir di depan gedung itu.
Jennie menghela nafas nya.
Cinta tidak begitu mudah.
*****
Setiap orang punya kisahnya masing-masing.
To be continued ....