8: Datanglah

771 149 8
                                    

"Oh? Chenle-ssi!"

Chenle yang sedang berjalan seraya mendorong troli belanjanya berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, mencari siapa yang memanggilnya. Tidak perlu waktu yang lama untuk Chenle menemukan siapa itu, lelaki secerah Freesia itu berlari cepat ke arahnya dengan senyuman lebar.

"Kebetulan sekali kita bertemu."

Chenle memandang Jaemin yang mengenakan pakaian santai yang rapi. Parfum bisa Chenle cium walau jarak mereka tidak begitu dekat. Tidak semua orang tidak merias diri walau pergi sendirian, Chenle termasuk orang-orang itu. Dia akan mengenakan pakaian terbaik, perhiasan terbaik, dan sepatu terbaik meski tujuannya keluar hanya untuk belanja bulanan seperti sekarang. Namun, Chenle sudah pernah melihat Na Jaemin di luar sebelumnya. Lelaki itu tidak merias diri ketika pergi sendiri, tetapi ketika bersama Jeno, lelaki itu tampak lebih rapi dan diselimuti parfum dengan wangi yang ringan.

"Sendiri saja, Jaemin-ssi?" Chenle tetap berbasa-basi meski tahu jawaban dari pertanyaannya.

"Ah, itu... Jeno bersamaku, tetapi dia sedang ke kamar mandi. Kemudian aku melihatmu ketika sedang menunggu."

"Oh."

"Chenle-ssi..." Na Jaemin memainkan jarinya. Chenle akan mencoba menebak. Mungkin Jaemin akan membicarakan permintaannya terkait ayah Jeno atau lelaki itu memiliki permintaan lain.

"Ayah Jeno... apa sudah ada perkembangan?"

Kemampuanmu memang hebat, Zhong Chenle.

"Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk berbicara. Belakangan ini beliau sering menghabiskan waktu dengan ayahku. Ayahku tidak boleh mendengar nama Jeno atau dia akan sangat marah." Chenle membalas. Itu bukan alasan. Setiap dia memiliki waktu dan menyempatkannya untuk menengok ayah Jeno, ayahnya selalu bersama dengan ayah Jeno. Belakangan ini mereka baru mengenal permainan papan seperti ular tangga dan monopoli dan mereka sangat menyukainya. Chenle terkadang bertanya-tanya apa ayah Jeno tahu dia sedang berusaha mendamainkannya dengan anaknya hingga menyeret ayahnya ke manapun beliau berada.

"Ah... aku mengerti." Jaemin mengangguk dengan senyum sendu di wajahnya. "Kalau begitu aku pergi. Maaf sud—"

"Tunggu sebentar, Jaemin-ssi."

Chenle membuka clutch bag-nya dan mengeluarkan secarik amplop berbahan tebal berwarna abu-abu muda. Kertas itu dia berikan kepada Jaemin. "Datanglah. Oh, omong-omong, kau orang pertama yang dapat undangan ini. Yang lain baru akan kuberikan undangan lima hari sebelum hari H."

"Oh?" Jaemin membuka amplop tersebut dan matanya terbelalak beberapa saat kemudian. Senyumnya terulas lebar ketika menatap Chenle. "Selamat untuk pernikahanmu, Chenle-ssi. Namun, sepertinya aku tidak akan datang. Tidak etis rasanya untuk datang ke pernikahan... orang yang sudah kurugikan." Penyesalan tampak jelas di wajah Jaemin. Chenle memutar bola matanya melihat ekspresi itu. Mau sampai kapan Na Jaemin terjebak di masa lalu?

"Sudah kubilang aku sudah melanjutkan hidup."

"Tetap saja..."

Chenle berdecak. "Baiklah, kalau begitu ini adalah perintah untuk membayar bantuanku."

Jaemin hendak membantah, tetapi kemudian menahannya. Chenle menyeringai kecil, merasa senang karena menang dalam perdebatan kecil ini. "Ini adalah pertama kalinya aku meminta. Kau tidak akan melanggar bukan? Ditambah, aku memberikan ini satu bulan lebih awal."

Mungkin tambahan perkataan itu terdengar mengancam dan jahat. Namun, Chenle sudah pernah berkata bahwa dia memang bukan orang yang baik, bukan? Tidak sepenuhnya jahat dan tidak sepenuhnya baik.

Jaemin meringis seraya mengusap lengannya. Merasa sedikit tidak nyaman dengan posisinya. "A-akan aku usahakan."

"Akan kuusahakan juga agar Jeno bisa bertemu dengan Paman Lee."

Jaemin kini menatap Chenle dengan berbinar-binar. "Terima kasih, terima kasih-"

"Apa yang kukatakan tentang maaf dan terima kasih?"

Jaemin menutup mulutnya dengan mata yang terbelalak kecil. "Ah, aku lupa."

Perhatian Chenle sedikit teralihkan dengan pria yang berjalan ke arahnya dan Jaemin. Lee Jeno, tidak berubah dari kali terakhir Chenle lihat. Chenle menutup clutch bag-nya seraya berkata, "Sepertinya aku harus pergi, kekasihmu berjalan ke sini. Aku tidak ingin membuat keributan berhubung kekasihmu terkadang sangat dramatis, Jaemin-ssi."

Jaemin menoleh ke belakang untuk sesaat kemudian mengangguk. "Hati-hati di jalan, Chenle-ssi." Lelaki itu memasukkan undangan Chenle ke dalam saku dalam jaket yang dia kenakan.

Chenle hanya tersenyum tipis dan melangkah menjauhi Jaemin. Chenle merasa sedikit bersyukur karena dia lupa memakai anting walau sebelumnya dia merasa kesal karena rasanya kurang lengkap untuk keluar dengan telinga yang kosong. Ditambah, dia memanjangkan rambutnya, jadi Jeno tidak akan mengenalinya.

"Sayang?"

Chenle menoleh ke kiri. Jisung menghampirinya dan langsung mengamit tangan Chenle. Chenle mencubit hidung Jisung. "Sudah kubilang tunggu saja di mobil jika sudah sampai."

"Bosan. Kau tadi bicara dengan siapa?"

"Na Jaemin."

"Oh ya?" Jisung hendak menoleh ke belakang, tetapi Chenle tahan. "Jangan menoleh."

Dahi Jisung berkerut sedikit dalam. "Kenapa?"

"Tadi ada Lee Jeno. Mengingat betapa dramatisnya dia, lebih baik menghindar."

"Hm, benar." Kepala Jisung mengangguk-angguk.

"Aku mengundang Na Jaemin."

Jisung menoleh cepat ke arah Chenle. Wajah pria itu dihiasi heran dan bingung. "Bukankah Jeno akan datang jika Jaemin datang? Kecuali kau melarangnya membawa Jeno."

"Aku tidak melarangnya. Bagian dari bisnis kecilku dan Jaemin adalah mendamaikan Jeno dengan ayahnya. Kapan lagi waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka selain saat pernikahan kita? Tenang saja, akan kusiapkan ruangan untuk mereka agar tidak mengganggu acara." Chenle menepuk pelan lengan Jisung yang bertautan dengan lengannya.

"Sayang, kau yakin?"

"Hm." Chenle mengangguk. "Apa kau tidak lihat bagaimana Paman Lee menempel dengan ayahku belakangan ini karena mereka sedang senang bermain permainan-permainan papan? Aku tidak ingin ayah naik darah karena mendengar nama Jeno, tetapi sulit memisahkan ayah dengan Paman Lee."

Jisung mengangguk-angguk. "Kau benar. Aigoo, lumba-lumba kecil ini memang yang terbaik."

Tatapan tajam Chenle lemparkan untuk Jisung. Sebuah pukulan Chenle daratkan di lengan Jisung. "Hanya eommonim yang boleh memanggilku seperti itu." Tegasnya.

Tentu saja Jisung yang melihat rona samar di wajah Chenle tidak bisa menahan senyumannya dan kecupan ringan di dahi Chenle sebagai pelampiasan rasa gemas yang menerpanya.

"Ini masih di tempat umum." Chenle mendorong pelan wajah Jisung menjauh dari wajahnya.

"Maaf, Sayang. Kau terlalu menggemaskan." Jisung menepuk pelan lengan Chenle.

Chenle menoleh dan memandang Jisung dengan lekat. "Omong-omong, besok aku akan memeriksa dekorasi. Kau ingin ikut atau tidak?"

Jisung tampak menimbang-nimbang untuk sesaat, kemudian pria itu mengangguk. "Karena matamu itu memancarkan bahwa kau ingin aku ikut."

"S-siapa yang begitu?" Chenle mengalihkan wajahnya dan berdecak. "Kau jadi menjengkelkan."

"Ogu ogu ogu, Chenle-ku merajuk." Jisung membelai pucuk kepala Chenle seperti dia membelai anak bayi yang marah.

"Yak, hentikan." Chenle kembali memukul lengan Jisung.

"Aw! Iya, iya. Aku berhenti."








--
Si rona lagi naik lagi nih, jangan berkerumun yaa kalo lagi di luar. Cari tempat makan yang ngga rame, jangan lupa cuci tangan juga.

Sailing [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang