"Chenle-ssi, jika ingin menggendong benar-benar tidak apa kok."
Chenle menggeleng, menolak tawaran Seungwan. Bibirnya tertarik kecil, membentuk senyum sungkan. "Tidak, tidak."
Wanita yang memangku Dohyon—yang asyik membalik-balik halaman buku yang Chenle berikan untuknya—mencebikkan bibirnya. "Padahal aku bisa melihat Chenle-ssi ingin menggendong Dohyon setiap kali ke sini."
Hanya kekehan kikuk yang bisa Chenle berikan. Matanya memandang ke arah lain untuk menghindari tatapan Seungwan. Saat itulah dia menyadari anak-anak lain yang tampak jelas menghindarinya. Sudah biasa bagi Chenle. Dia memang bukan tipe orang yang akan didekati anak kecil.
Menyadari apa yang Chenle perhatikan, Seungwan mengibaskan tangannya. "Jangan terlalu dipikirkan, Chenle-ssi. Mereka hanya tidak terlalu terbiasa dengan orang lain."
Chenle bisa ingat dengan jelas anak-anak ini begitu senang di pesta ulang tahun anak Moon Daepyo. Memang mereka menghindari Chenle. Namun, tidak masalah untuknya. "Ah, tidak. Hal seperti ini sudah biasa. Aku memang menyeramkan di mata anak-anak." Chenle terkekeh.
"Tidak kok. Dohyon-ah, paman ini tidak menyeramkan ya?" Seungwan mencolek-colek pipi Dohyon.
"Awawayayayaa." Si bayi menggeleng-geleng, seolah mengerti apa yang dikatakan oleh pengasuhnya.
"Lihat? Dohyon tidak takut."
"Nngg! Mma, ma, mma! Ta! Tatata."
Seungwan hanya diam ketika Dohyon kecil beranjak dari pangkuannya, merangkak ke depannya, berpindah ke pangkuan Chenle. Ketika Dohyon duduk di pangkuannya, Chenle hanya bisa mematung. Dia tidak berani bergerak, bahkan tangannya seolah berubah menjadi batu, mengapung di udara.
Seungwan terkekeh geli melihat kedua mata Chenle yang terbelalak. "Chenle-ssi, tidak perlu panik."
Tidak bisa. Bagaimana jika Dohyon menangis jika dia bergerak? Bagaimana jika dia membuat Dohyon tidak nyaman?
"Tenang Chenle-ssi, tenang. Tarik nafas."
Nafasnya Chenle tarik perlahan. Perlahan-lahan tangannya turun dan menyentuh kedua sisi tubuh Dohyon dengan canggung. Dia memperhatikan dengan seksama Dohyon yang membelakanginya, berjaga-jaga jika ada pergerakan yang menunjukkan bahwa bayi ini merasa tidak nyaman dengannya.
"Aigoo, kau senang? Kau senang dipangku oleh paman yang menawan ini hm?" Seungwan menggoda Dohyon yang tersenyum lebar seraya memainkan bukunya, tampak begitu senang dengan posisinya sekarang.
Tubuh Chenle kembali menjadi kaku ketika posisi Dohyon berubah. Anak itu bersandar ke tubuh Chenle dan menyamankan dirinya di sana.
"Seungwan-ssi..."
"Tidak perlu panik. AAA! JANGAN MENANGIS, CHENLE-SSI!"
***
"Jika Chenle menyukai anak itu jangan ditahan terlalu lama."
"Aku tidak menahannya. Chenle berpikir bahwa semesta ini tidak memberikan kami anak karena kekurangannya dalam bidang semacam ini. Karena itu dia takut."
"Oh... aigoo, lumba-lumba yang malang." Ibu Jisung menghela nafasnya seraya menyentuh dadanya. Wanita tua itu tampak sedih, tetapi tiba-tiba memukul anak semata wayangnya.
"Ak!" Jisung memelototi ibunya. "Apa-apaan, aku salah apa?"
"Tidak apa, Eomma hanya kesal kenapa dia berpikir begitu. Aigoo, lumba-lumba kecil Eomma."
Jisung berdecak. "Ish! Kukira kenapa."
Perhatiannya teralih kepada getaran di saku celananya. Jisung dengan segera merogohnya dan menarik keluar ponselnya.
"Ya, Ahjussi? Ada apa?"
Dahi Jisung berkerut dalam mendengar jawaban dari seberang sana. "Menangis?! Kenapa?... oke, aku segera ke sana. Terima kasih."
"Apa? Kenapa?" Ibu Jisung panik melihat anaknya panik.
"Aku belum tahu pasti. Nanti kuberi tahu. Aku pamit."
***
"Lalu kenapa kau menangis?"
"Aku tidak tahu." Chenle menyeka matanya yang basah. "Rasanya senang sekali ketika dia bersandar kepadaku, aku tidak tahu kenapa..."
Jisung mengusap punggung Chenle seraya sesekali melirik Seungwan yang tampak khawatir.
"Maaf jika kami mengganggu, Seungwan-ssi."
"Ah tidak, tidak. Aku yang mengganggu, jadi aku akan tinggalkan kalian berdua." Wanita itu bangun dan keluar dari ruang berisikan meja dan kursi itu.
Kepergian Seungwan membuat Chenle berani untuk memeluk Jisung. Lelaki pucat itu membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Maaf karena membuatmu khawatir."
"Tidak perlu minta maaf. Sudah kewajiban suami untuk khawatir ketika pasangannya menangis."
Dalam dekapan Jisung senyum Chenle terulas. "Terima kasih."
Jisung mengecup pucuk kepala Chenle. "Tidak perlu berterima kasih pula."
Keheningan kemudian menyelimuti keduanya. Jisung berusaha membuat Chenle tenang dan nyaman, sementara Chenle mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang ada di benaknya. Dua minggu mengunjungi panti ini membuat Chenle memiliki keinginan untuk membuka lembaran baru, meski dia masih takut dan khawatir.
"Jisung-ah... bagaimana kalau kita... mengadopsi..." Chenle tidak melanjutkan ucapannya.
Namun Jisung mengerti. kedua sudut bibir Jisung tertarik dengan sendirinya. Pria itu mengangguk dengan semangat, menyetujui ucapan suaminya.
"Siapa? Dohyon?"
Chenle mengangguk kecil. "Tapi... bagaimana jika aku tidak bisa membesarkannya dengan baik? Bagaimana jika aku—"
"Meragukan diri sendiri itu terkadang memang perlu, tapi jangan berlebihan. Kita belajar bersama-sama, membesarkannya bersama-sama. Ada Eomma-ku yang bisa dijadikan mentor."
"Apa Eommonim tidak akan keberatan?"
"Sayang." Jisung menarik Chenle dengan perlahan dari pelukannya, kemudian mencubit kedua pipi suaminya itu. "Kau tahu pertanyaan itu konyol bukan? Eomma tidak akan pernah keberatan jika itu kau." Jisung mengecup hidung Chenle sebelum kembali bersuara, "Jadi, ingin memberi tahu Seungwan? Keputusanmu sudah bulat?"
Chenle mengangguk. "Ya."
"Kita bilang bersama, oke?"
Chenle mengangguk, terlalu gugup untuk mengatakan apa pun. Dia siap, tapi tidak siap di saat yang bersamaan. Namun, jika dia pikirkan, mungkin ini adalah apa yang dirasakan para calon orang tua di dunia ini. Chenle menarik nafasnya dan menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
"Ya."
![](https://img.wattpad.com/cover/287810456-288-k30873.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sailing [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfic✨A Story By Z✨ [Book 2 of Ran] "Terima kasih karena sudah bertahan denganku." -- "Kau belakangan ini lengket sekali denganku." "Begitukah? Bukankah aku selalu lengket denganmu?" -- "Haha... aku pikir aku cerdas, Hyung. Aku pikir aku mampu membedakan...