9

5.5K 596 43
                                    

🥀__🥀

"Gak usah terlalu difikirin, kasihan tau anak aku nanti malah mirip dia" tubuh Aca tersentak kaget, Jevin tiba-tiba saja sudah ada dikamar padahal jika ia tidak salah ingat, pria itu baru saja meminta izin mau keluar sebentar sama Aji.

"Aku udah hampir setengah jam fyi disini, tapi kayaknya kamu asik banget ngelamun" Jevin menyodorkan susu kehamilan Aca, yang diterima dengan diam oleh wanita itu.

"Kalo anak aku lahir, bakal diakui gak sama dia?" Aca tahu kalau pertanyaan ini terlalu kurang ajar kalau dia tanyakan ke Jevin, tapi ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi kecuali lelaki yang sekarang duduk dihadapannya.

"Diakuinlah, keponakannya kan?? Jahat banget dia gak ngakuin anak aku sebagai keponakan" Jawaban Jevin tidak membuat Aca puas, malah membuat wanita itu semakin ingin menangis.

"Jev...." Aca tidak mampu memprotes apa pun, ia hanya berharap Jevin tidak lagi mengucapkan kalimat yang tidak membuat hatinya tenang.

"Apasih Aca. Kamu istri aku, anak yang kamu kandung anak aku. Gak ada anak orang lain. Please jangan pusing mikirin orang lain, masa nanti anak aku mirip sama yang kamu fikirin. Gak ikhlas lah aku" Aca menangis. Kenapa ada lelaki sebaik Jevin. Lelaki itu bahkan selalu mengatakan bahwa anak yang Aca kandung adalah anaknya.

"Aku gak suka kamu nangis" Jevin memeluk Aca. Ditepuknya pelan pundak Aca, seolah meyakinkan bahwa Jevin akan selalu bersama Aca dan dia tidak main-main dengan itu.

"Je???"

"Hm???"

"Ayok" Jevin mengernyit.

"Kemana??"

"Jengukin baby" separuh nyawa Jevin seperti ikut terbang bersama ribuan angin pelan yang baru baru saja melewati mereka.





🥀__🥀





Dipontianak itu siangnya panas kayak matahari ada diatas kepala masing-masing, tapi kalo udah masuk malam dinginnya juga bisa sampe nusuk ketulang. Tapi walaupun dingin, dua insan yang sepertinya baru saja menyelesaikan urusan surga dunia mereka tidak ambil peduli padahal jendela kamar mereka masih terbuka lebar menyebabkan angin-angin yang bebas masuk, selain itu suhu AC juga berada dititik terendah, dalam kondisi sedingin itu tidak digubris oleh sepasang suami istri yang sedang kasmaran itu.

"Gak sakit kan Ca?" Aca terkekeh.

"Aku hitung-hitung ini udah ke dua puluh kalinya kamu nanya Jejeeeee" Jevin ikut terkekeh, kemudian mengeratkan pelukannya, menarik tubuh Aca semakin mendekat. Dalam kondisi Aca yang hamil, mereka tidak mungkin melakukan 'itu' dalam posisi berbaring. Jadi posisi duduk sambil memangku Aca adalah posisi yang paling aman menurut Jevin.

"Aku khawatir, nanti kalo anakku kenapa-napa gimana??"

"Gak mungkinlah, harusnya seneng karena dijengukin papanya" kepala Jevin langsung pusing.

"Aduh Ca, kamu gak usah ngomong yang beginian lagi deh. Pusing aku" Lagi-lagi tawa Aca pacah, Jevin menikmati pemandangan ini. Lengkungan mata Aca ketika wanita itu tertawa sangat menawan, seolah bisa menarik perhatian Jevin hingga tak sanggup berpaling.

"Kamu tau gak dari sekian banyak ada satu hal yang aku syukuri"

"Apa?"


"Keluarga aku gak punya nama belakang" Aca diam menyimak, tidak mau menanggapi karena ia tidak tahu kemana arah pembicaraan Jevin.

"Nama belakang aku sama abang beda, papi juga gak nyimpen nama belakang beliau di nama kami, jadi gak ada alasan buat nama bajingan itu nangkring dinama anak aku" Kini Aca terdiam sepenuhnya, bahkan bergerak pun ia tidak sanggung.

"Ca, ini" Jevin mengelus perut Aca. "Ini anak aku. Aku papanya, aku gak perduli istilah darah lebih kental daripada air yang aku tau, ketika dia lahir nanti aku yang akan dia kenalin sebagai papanya. Aku mohon sama kamu untuk anggap itu juga, lupain semua kenangan buruk, kita ada disini, berdua. Kamu gak sendiri, aku suami kamu, aku anak dari ayah kamu, ayo kita lukis kisah kita sama-sama" Tidak menunggu reaksi Aca atau sahutan Aca atas pernyataannya, Jevin langsung menarik Aca kedalam ciuman intens, mempertegas bahwa Aca adalah miliknya, dan ia adalah milik Aca.










🥀__🥀

Pregnant Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang