011 : Cerita Theresa

309 91 26
                                    

Happy Reading!
Denoument - chapter eleven

Siang hari gini Fenly hanya mau diem di kamar, enggan keluar kamar sedikitpun. Padahal, Fiki sama Fajri udah ngajak dia main. Katanya mau jalan-jalan lagi kayak kemarin, tapi ternyata Fenly nggak bisa. Alhasil dua bocah itu juga nggak jadi, katanya kalau nggak ada Fenly nggak rame, gaada yang ngegas soalnya. Laknat banget mereka, ya?

Tapi sebenernya Fenly bukan nggak mau, sih. Cuma karna terpaksa aja. Kemarin malem pas dia mau tidur, tiba-tiba Eca—teman gaibnya itu memintanya untuk mendengar curhatannya. Fenly sendiri sampai bingung kenapa Eca curhat harus sama dia? Kenapa nggak ke sesama makhluk gaib aja?

Tapi yaudahlah, Fenly nerima juga akhirnya. Sebenernya sih karna nggak tega sama Eca yang udah mohon-mohon pake segala di imut-imutin mukanya, padahal mukanya tetep nyeremin.

Sekarang nih, Fenly lagi nunggu Eca muncul. Katanya Eca masih mau main sama boneka lumba-lumba pemberian dari seseorang. Makanya belum muncul juga. Fenly lagi rebahan di kasur sambil main handphone, daripada ngelamun nggak jelas yang ada dia kemasukan.

"Fenly! Aku dateng,"

Fenly mengangguk kecil lalu mulai menatap ke arah Eca yang sudah hadir di sebelahnya, dengan handphonenya yang ia letakan di atas nakas. Karna Eca pasti sangat ingin Fenly mendengar curhatannya dengan serius, biasanya kalau Eca lagi curhat terus Fenly malah sibuk main HP nanti HP nya diambil, terus ngelayang. Kan gaenak kalau misalnya ketahuan sama penghuni kos yang sama sekali nggak ada waras-warasnya.

"Eca mau cerita, Fenly dengerin baik-baik, ya! Kalau nggak serius dengerin Eca, HP Fenly nanti aku ambil, aku bawa ke luar. Aku datengin kamar-kamar penghuni kos,"

Fenly mengangguk. "Iya, Eca. Gue dengerin baik-baik, tuh liat HP aja gue taro di atas nakas." balasnya sembari melirik handphonenya yang terletak di atas nakas.

"Hehe, kalau gitu Eca mau cerita."

Fenly berdehem.

"Jadi, tadi tuh ya Abang Eca dateng ke makam Eca. Setelah sekian lama Abang Eca nggak jengukin tempat tinggal baru Eca lagi, akhirnya Abang dateng. Eca seneng banget tahu, Abang juga tadi ngucapin ulang tahun buat Eca."

Fenly mengangguk-anggukan kepala karna menyimak curhatan Eca yang begitu serius.

"Abang juga tadi bawain boneka lumba-lumba kesukaan Eca, kado terindah banget buat Eca. Walaupun Eca nggak bisa main bareng sama Abang pake boneka lumba-lumba itu."

"Main aja nanti sama gue, lo juga udah gue anggap Adik kok. Jadi kalau lo mau main, yaudah sama gue aja." kata Fenly sembari tersenyum hangat.

Eca mengangguk. "Tapi Eca juga bingung, kata Abang di sini ada penghuni kos yang mirip sama orang itu."

Fenly mengernyitkan dahinya, orang itu yang di maksud Eca itu siapa, sih? "Siapa?"

"Orang yang ngebunuh Eca sama Mamah. Kata Abang ada penghuni kos sini yang mirip sama orang itu. Fenly tahu nggak, siapa?" jawab Eca.

"Bisa gambarin ciri-cirinya nggak orang yang ngebunuh lo itu gimana? Nanti gue liat dan pastiin siapa orang yang mirip sama orang yang ngebunuh lo."

Eca mengangguk lalu mulai menjelaskan ciri-ciri orang yang membunuhnya pada Fenly dengan detail.

Fenly menganggukan kepala saat Eca sudah selesai menjelaskan ciri-ciri orang yang membunuhnya itu. Matanya ia pejamkan, menerawang siapa orang itu.

Selang beberapa menit Fenly kembali membuka matanya. Batinnya bertanya-tanya apakah benar orang itu adalah pembunuhnya Eca? Tapi masa iya?

"Fenly tahu siapa?"

Fenly menggeleng, sebenarnya ia tahu siapa. Tapi ia belum sepenuhnya percaya, lagipula belum ada kejelasan kan kalau memang dia?

"Yahhh, padahal Eca mau banget lho tahu siapa orangnya. Biar Eca bisa gentayangin! Kan lumayan ada bahan supaya Eca nggak gabut,"

Fenly terkekeh pelan mendengar itu, dasar Eca. Masa mau gentayangin orang karna alasan nggak gabut, hantu gaada akhlak emang!

"Nanti gue selidiki dulu, ya. Kalau udah bener ketahuan siapa, gue pasti bilang sama lo. Oke?"

Eca mengangguk. "Oke, Fenly! Kalau gitu aku mau izin jalan-jalan lagi, boleh, nggak? Abang kayaknya mau ketemu sama pacarnya, jadi Eca mau liat. Kan katanya kalau berduaan itu dosa, yaudah Eca mau nemenin mereka supaya nggak dosa."

"Tumbenan jadi demen jalan-jalan gini? Biasanya nempel terus sama gue, gue ke mana lo pasti ngikut." kata Fenly sembari terkekeh.

"Ya kan Eca mau liat Abang Eca pacaran, Eca mau tahu pacar Abang Eca itu kayak gimana. Cuma sebentar, kok. Boleh, yaa?"

"Boleh lah. Masa gue larang?"

"Yeay! Makasih Fenly! Kalau giti Eca pergi dulu, ya! Sampai ketemu nanti pas Eca udah pulang. Jangan kangen!"

Fenly hanya menganggukan kepala. Setelah Eca benar-benar pergi dari hadapannya ia mulai kembali memainkan handphonenya.

***

Nindy meletakkan buku hitam itu di atas meja, mengembalikannya pada Shandy sesuai yang telah mereka bicarakan di telepon.

"Makasih," ujar Shandy, tangannya menyambar buku tersebut dan membuka isinya.

Hening sejenak, sampai akhirnya Nindy menyuarakan isi pikirannya. "Kamu yakin?"

Netra Shandy melirik ke arah Nindy beberapa saat, lalu kembali fokus mengecek isi bukunya apakah ada lembaran yang hilang atau tidak. "Yakin soal apa?"

"Aku udah baca semua yang ada di buku itu, tentang sobekan koran yang kamu tempel di sana, sampai semua rencana kamu yang kamu tulis. Aku tau, kamu pasti mau cari tahu soal kematian Theresa, tapi apa kamu yakin? Kalau pelakunya berhubungan dengan salah satu dari penghuni di kosan itu?"

"Ini urusan aku, kayaknya kamu nggak perlu tahu apa rencanaku."

"Tapi aku nggak mau kamu main kotor, jangan gila, kamu pikir Theresa bakal suka kalau kamu cari keadilan buat dia tapi dengan cara yang salah?"

Shandy bergeming di tempat, pergerakan tangannya yang tadi sibuk membuka lembaran buku menjadi terpaku seketika. "Kamu tahu apa soal Theresa? Dia adik aku, aku yang tahu gimana caranya Eca bisa pergi dengan tenang."

"Shan, tapi—"

"Terlepas dari kasus kematian Eca, penghuni-penghuni di kosan itu emang gila, Nin. Aku nggak bisa diem aja, dong?"

"Mereka bukan gila."

"Terus apa? Ngomong sendiri sama tembok, namanya waras?"

Nindy menyugar rambutnya ke belakang, rupanya memberitahu Shandy lebih sulit dibanding memberitahu anak kecil. "Terserah kamu, deh. Aku cuma bisa ingetin doang, intinya, jangan melebihi batas. Jangan lakuin hal gila demi Theresa, kalau bisa batalin semua
rencana-rencana kamu di buku itu."

Setelahnya, atmosfir di antara mereka terasa cukup dingin. Shandy sama sekali tidak menggubris peringatan Nindy, alhasil Nindy hanya mendengus jengah.

"Ya udah, sana kamu balik, pikir baik-baik peringatanku, kalau semuanya berakhir buruk, yang nyesel juga kamu, kan?" final Nindy, mengakhiri pertemuan mereka kala itu.

to be continued.

aloo, malem ini DM udah updet lagi!

anyway, happy 1K readers untuk DM! ily, <3

Denoument - UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang